Jumat, 20 April 2012

Entrepreneurship Rasulullah

Sahabat-sahabat,
Ternyata dalam kajian tentang Rasulullah, ada saat yang kurang kita bahas. Kebanyakan kita bahas adalah mulai dari umur 17 tahun sampai 20 tahun. Kita tahu mengenai beliau ketika umur 25 tahun tetapi dengan imej yang negatif, yaitu seorang pemuda menikahi janda kaya raya. Padahal kalau dilihat dari maharnya mencapai 20 ekor unta muda yang jika dihargai sekarang kurang lebih setengah milyar rupiah, Bayangkan saja.
Hal lainnya yang amat jarang kita bahas adalah bagaimana Muhammad menjadi professional. Umat Islam sekarang menjadi babak belur, karena kita tidak mengerti bagaimana menjadi professional. Mengurus masjid kecil, wc bahkan sandal saja repot sekali. Hal yang perlu kita kembangkan adalah jiwa entrepreneur.
Rasulullah sebagai bukti bahwa dengan memiliki jiwa entrepreneur maka orang akan mampu mengendalikan apa saja. Contohnya di Singapura yang merupakan negara pedagang walaupun mereka tidak mempunyai sumber daya.Taiwan, Jepang bahkan Korea hampir menguasai dunia.
Rasulullah dilahirkan dalam keadaan yatim. Dalam usia enam tahun ibunya meninggal dalam perjalanan kembali dari Yatrib setelah menengok kuburan ayahnya. Usia 6tahun beliau sudah yatim-piatu dan tidak punya pegangan. Sampai usia 8 tahun 2 bulan dibina dan didik kakeknya Abdul Muthalib yang cukup berada.
Di usia ini kakeknyawafat, setelah itu ia dalam perlindungan pamannya AbuThalib yang tidak sekaya kakeknya, mulai saat itulah pemuda kecil Muhammad menggembala kambing, mencari nafkah sendiri. Usia 12 tahun Rasul diajak pamannya dalam perjalanan dagang pertama kali ke Syria. Syria itu jaraknya ribuan kilometer.
Bayangkan umur 12 tahun tidak pakai pesawat atau mobil!!!. Anak-anak kita umur12 tahun sedang malas-malasnya. Masa kecil kita bukan masa teruji, bukan masa tertempa. Semua dimudahkan oleh orang tua kita. Disini saya akan membahas kenapa kita ini menjadi warga yang looser.
Saudara-saudara Sekalian,
Sepulang dari perjalanan dagang pertamanya, beliau begitu sering bisnis bahkan sampai ke seluruh JazirahArab sudah terkenal seorang professional muda bernama Muhammad. Di usia 25 tahun, beliau menikah dengan seorang konglomerawati bernama Khadijah. Setelah genap hampir sepuluh kali perjalanan dagang yang beliau tempuh, kalau setiap kali perjalanan dagang beliau mendapatkan untung dua ekor unta betina.
Subhanallah,
Maka ketika meminang Siti Khadijah beliau memberi maskawin sebesar duapuluh ekor unta muda atau kurang lebih setengah milyar rupiah!!!. Mana ada pengusaha muda di Indonesia yang mau memberi mahar begitu besar kepada istrinya. Coba cari sekarang ada atau tidak di Indonesia seseorang yang sudah berani menikah dengan memberi mahar setengah milyar. Paling top orang kaya itu seperangkat alat sholat.
Jadi kita bisa membayangkan bagaimana dashyatnya Muhammad muda ini. Hal ini yang jarang kita pelajari, bagaimana etos kerja beliau padahal beliau tidak ada uang, tidak ada keahlian. Jadi saudara-saudara, jangan merasa malu lahir dari orang tua yang miskin, Rasul bahkan tidak punya bapak.
Jangan merasa berpendidikan rendah, Nabi saja tidak sekolah. Jangan merasa tidakpunya modal, Nabi tidak punya modal sama sekali. Tidak ada alasan. Kita itu paling hobi memperbanyak alasan. Padahal alasan memperjelas kelemahan kita.
Jadi bangsa ini mau sesulit apapun, tidak ada pilihan bagi kita kecuali kita bangkit dengan semangat. Saya termasuk yang tidak mau pusing dengan keadaan sekarang kalau akhirnya akan melemahkan semangat . Situasi sesulit apapun, pilihannya cuma satu yaitu kita harus bangkit bersama-sama.
Mengeluh, mencela tidak akan menyelesaikan masalah, kalau ada yang dapat terselesaikan dengan masalah, silakan saja mengeluh sepuasnya. Kalau ada yang bisa selesai dengan umpatan dan makian, silakan mengumpat. Kita tidak punya waktu, waktu kita terbatas. Satu – satunya pilihan adalah kita harus bangkit. Allah Maha Kaya, mau seperti apa saja keadaanya, rezeki Allah tidak akan berkurang. Ini rumusnya yang akan kita coba bahas.
Rekan-rekan sekalian, Para orang tua, jangan merasa sudah tua. Tenang saja kita masih punya anak cucu. Para kaum muda ini kesempatan bahwa kita sudah disiapkan sukses oleh Allah. Sudah diilhamkan potensi sholeh/bejat. Kita sebelum dilahirkan ke dunia sudah pernah bertarung dengan 150 juta pesaing yaitu sel sperma dan yang jadi menemui sel telur adalah kita. We are the winner. Kita pernah memasuki persaingan dan kita menang. Kenapa kalau sudah hidup jadi kalah??
Jadi tekad harus kita canangkan dari sekarang. Kalau kita lihat sejarah, baru tahun 1984 ilmu wirausaha ini mulai dikembangkan, padahal Nabi Muhammad SAW sudah 1500 tahun yang lalu mencanangkan bahwa kita itu bisa kokoh dan kuat justru dengan kewirausahaan yang ada. Kuncinya ternyata semua wirausahawan sejati tergantung dari masa kecilnya.
Masa kecil seseorang itulah yang menentukan kualifikasi enterpreneurship orang tersebut. Kalau masa kecilnya selalu dimanja, selalu ditolong maka bersiaplah menuai anak yang tidak berdaya. Para pengusaha kita sedikit yang masa kecilnya susah.
Saudara-saudaraku,
Bagi yang masih muda, jangan bercita-cita punya pekerjaan setelah lulus. Mulai sekarang kalau saya lulus, saya ingin membuat pekerjaan, tidak perlu melamar kemanapun. Langsung jadi direktur utama merangkap staf dan pegawai inti. Bangsa ini tidak akan selesai hari ini. Mulailah tanamkan jiwa enterpreneurship pada anak-anak kita. Ingatlah padawaktu kita kecil, waktu belajar jalan, bediri sedikit sudah jatuh. Bangkit lagi, benjol berdarah dan apakah kita putus asa?, apakah kita mengeluh?.
Potensi untuk berani bertindak sudah ada hanya orang tua yang dapat melemahkan semangat kita. Dilarang naikkursi takut jatuh, dilarang main pisau nanti berdarah. Dia tidak pernah punya pengalaman untuk mengambil pilihan. Dia tidak pernah punya pengalaman untuk mengetahui resiko dari tindakannya.
Menyelesaikan bangsa kita sekarang bukan saja oleh kita sekarang, dengan mempersiapkan keturunan kita juga merupakan tanggung jawab kita kepada umat ke depan. Tidak pernah ada kata terlambat. Didik anak-anak kita dari kecil buat jadi mandiri, bebas, berani bertanggung jawab supaya dia percaya diri.
Kalau dia jatuh biarkan saja. Ini adalah membangun bangsa ini. Ini adalah membangunmasa depan umat, yaitu bagaimana para orang tua membangun anak-anaknya. Kalau mereka mau jajan harus ada pertaruhannya, setiap rupiah harus ada perjuangannya.
Latih anak-anak kita untuk selalu bertanggung jawab terhadap apa yang dia lakukan. Orang tua yang memanjakan anaknya sengsaranya juga akan kembali ke orang tua. Latihlah entrepreneurship dari uang jajan bulanan yang bertanggungjawab pemakaiannya. Semoga Allah mengampuni segala kesalahan kita. Saya semenjak SD sampai SMA sudah berjualan, lulus kuliah tidak pernah mengambil ijazah sampai sekarang.
Alhamdulillah, rezeki Allah tidak kemana-mana.Allahu akbar, Allah Maha Besar sampai sekarang mampu membangun Daarut Tauhiid sampai sebegini besar. Tapi ini benar-benar membuat keyakinan jika jiwa entrepreneurship tertanam pada diri-diri kita, kita tidak pernah takut menghadapi situasi apapun. Kalau saja ini dikelola oleh orang- orang yang berjiwa wirausaha yang baik pasti akan sukses.
Bagaimana mungkin dengan alam yang begitu kaya kita bisa miskin, cuma kita saja yang bodoh sampai tertipu tetangga karena kita tidak mengerti cara mengelolanya. Saudara-saudaraku sekalian, Hikmahnya yang pertama adalah hati-hati dengan masa kecil, masa muda. Para mahasiswa sebaiknya sambil kuliah sambil cari nafkah. Pengalaman sudah harus dirintis, nantinya waktu kuliahnya sama hasilnya akan berbeda dengan orang lain.
Kedua, Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat sebagi nabi tidak punya apa-apa, mengapa setelah itu dapat menjadi orang kaya tanpa modal. Karena modal yang beliau punyai adalah Al-Amin yaitu orang yang kredibel. Mulai sekarang kita harus buat track record menjadi orang yang terpercaya dalam kehidupan kita. Modal kita itu adalah nama baik kita. Demi Allah, uang itu kecil.
Nama baiklah yang mahal. Mulai sekarang jangan pernah terpikir untuk licik. Mulut kita satu-satunya ini tidak boleh lagi berdusta. Mulut ini yang membuat kita kehilangan hidup, uang, dan kehormatan kita. Jangan main-main soal bohong ini. Biar kita diremehkan, disisihkan dan dikeluarkan karena kita jujur.
Daripada kita sebaliknya karena kita tidak pernah menikmati hidup selama kita berbohong. Cari rezeki tidak perlu bohong, Allah SWT sudah tahu kebutuhan kita daripada kita sendiri. Tiap kita itu sudah ditentukan rezekinya, tidak mungkin Allah menciptakan kita tanpa rezeki.
Rezeki dapat dibagi menjadi tiga, yaitu rezeki yang pertama adalah rezeki yang dijamin pasti ada, yaitu makan. Pada saat kita bayi kita tidak bisa mencari makan, apakah kita takut. Hal ini karena kita yakin sudah dijamin. Satu kesulitan mendatangkan dua kemudahan pada saat kita hendak terlahirkan. Ari-ari dipotong setelah itu mendapatkan makanan dari dua air susu ibu. Jadi setelah kita sebesar ini, apakah masih takut tidak makan. Yang harus kita takuti adalah makan makanan yang kita tidak tahu halal/haramnya. Demi Allah, kita akan ada rezekinya.
Rezeki yang kedua adalah rezeki yang digantungkan. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri. Semua sudah ada ukurannya sendiri. Justru akan gawat kalau rezeki kita sama semua. Kalau kita mencarinya di jalan Allah. Rezeki dapat, pahala dapat, barokah namanya. Kalau mau licik boleh-boleh saja. Rezeki dapat, dosa dapat, haram namanya.
Pencuri, koruptor itu maling hartanya sendiri. Kalau dia sholeh pasti ketemu rezekinya itu. Tidak perlu pakai licik. Tidak mungkin Allah menyediakan rezeki kalau harus pakai licik. Jujurlah pasti akan ketemu rezeki tersebut, mau kemana lagi. Ingatlah teori bayi, ketika menangis dengan suara pelan sang ibu hanya menenangkan dan tidak memberi makan. Kemudian si bayi menangis dengan berteriak tentu akan menarik perhatian dan ibu akan memberi makan kepadanya.
Saudara-saudara,
Saya khawatir kita apes seperti ini bukan tidak ada jatah kita, tapi kita tidak mengambilnya hanya sedikit. Jangan-jangan jatah saudara seratus juta perbulan tapi mengambilnya hanya lima ratus ribu. Jika sudah bekerja keras itu masih belum cukup. Bekerjakeras itu urusan fisik, bekerja cerdas itu urusan otak dan bekerja ikhlas itu urusan hati. Kalau ketiganya jalan baru ketemu.
Tanpa bermaksud meremehkan saudara kita tukang becak itu tidak kurang kerja kerasnya. Karena kalau tidak didorong tidak akan maju, tapi hasilnya hanya sepuluh ribu perhari. Tidak cukup mengandalkan otot saja, hati dan otak harus diperhatikan. Maka saudara-saudara jangan sampai berpikir licik untuk mendapatkan rezeki, rezeki itu tidak akan kemana-mana.
Rezeki yang ketiga adalah rezeki yang dijanjikan. Kita harus jatahkan setiap mendapatkannya harus langsung dikeluarkan sedekah/zakatnya. Demi Allah, Allah sudah berjanji barangsiapa yang ahli syukur nikmat yang ada Allah akan tambahkan. Tidak akan berkurang harta dengan sedekah, kecuali bertambah dan bertambah. Inilah rumusnya kalau tidak mau uang kita sia-sia.

Sami Zaidan, kisah sang Syuhada

    Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu,

Sepuluh Hari Syahid, Jasadnya Masih Mengeluarkan Darah Segar Madrasah Brigade al Qassam telah banyak mengeluarkan pahlawan mujahidin, termasuk dari kota Tel. Di antara mereka ada yang menjadi pemimpin besar yang banyak dari mereka menjadi prajurit-prajurit perlawanan yang tidak dikenal yang kini telah bergabung dalam barisan kafilah syuhada’ Palestina.
Pahlawan kita kali ini adalah satu di antara pejuang Palestina yang menjadi alumni madrasah Brigade al Qassam. Sami Zaidan, seorang pemuda bertaqwa dan wara’ yang mengenal hak Rabbnya, mengenal hak tanah air dan bumi tempat ia berpijak. Dia keluar dari madrasah al Qassam menjadi mujahid berjuang di jalan Allah.
Dialah Sami “Muhammad Samir” Zaidan, lahir di desa Tel berdekatan dengan kota Nablus pada 11 Oktober 1980. Berasal dari keluarga religius yang hidup dari hasil menggarap lahan (bertani). Dia adalah anak kedelapan dari sebelas bersaudara. Tumbuh dalam suasana keimanan dan jihad perjuangan. Terdidik mencintai masjid. Senantiasa melaksanakan shalat berjama’ah di masjid. Tidak pernah sekalipun terlewatkan shalat di masjid, bagaimanapun kondisinya.
Terlebih shalat subuh. Halaqah al Qur’an diikutinya di masjid desa hingga hafal (hafidz) al Qur’an secara keseluruhan pada usia 19 tahun.
Pendidikan formal hanya sampai pada tingkat menengah atas (SMU). Selanjutnya bekerja bersama orang tuanya sebagai petani. Pahlawan kita ini memiliki sifat kesatria dan matang sedari awal pertumbuhannya. Hal yang paling dikenang ayahnya adalah kebiasaannya membuat mudah segala urusan rumah dan yang berkaitan dengan penggarapan tanah dan pertaniannya. Bidang ini ditekuninya secara mahir dan mumpuni.
Di tengah-tengah arogansi dan kebiadaban Zionis terhadap rakyat Palestina dan tempat-tempat sucinya, pahlawan kita ini dapat merasakan pedih dan sakitnya penderitaan yang harus dialami rakyat Palestina akibat oleh tangah kaum Zionis. Untuk itu, dia memutuskan bergabung dalam barisan Gerakan Perlawanan Islam HAMAS dan aktif dalam berbagai aktivitas dan amal jihad di dalam gerakan.
Begitu intifadhah al Aqsha meletus (September 2000), yang kemudian disusul eskalasi terorisme Zionis Israel terhadap rakyat Palestina, pejuang Palestina ini langsung terjun ke medan jihad dan bergabung dalam sayap militer gerakan HAMAS, Brigade Izzuddin al Qassam.
Pembunuhan komandan al Qassam Mahmud Abu Hanud di Tepi Barat telah mengobarkan aksi-aksi serangan balasan oleh sayap militer HAMAS ini hingga menjungkirbalikan nalar dan logika penjajah Zionis Israel. Sehingga tidak ada jalan lain bagi Zionis Israel kecuali menggelar operasi penangkapan di kalangan mujahidin dan aktivis gerakan HAMAS serta dari kelompok perlawanan Palestina lainnya.
Sami Zaidan adalah salah satu dari mujahidin Palestina yang turut ditangkap dan dititipkan dalam Penjara Pusat di Nablus yang dijaga oleh anggota pasukan keamanan Palestina. Pada saat yang sama pesawat-pesawat dan tank-tank Zionis Israel terus melancarkan gempuran dan pembunuhan terhadap rakyat Palestina.
Sami tetap mendekam dalam penjara pemerintah Palestina sampai sebelum aksi pendudukan penjajah Zionis Israel secara total atas kota Nablus dan kota-kota lain di Tepi Barat pada musim panas tahun 2002. Begitu keluar dari penjara, pejuang Palestina ini langsung bergabung dengan mujahidin Palestina dan anggota al Qassam lainnya guna melakukan persiapan memburu para agresor penjajah Zionis Israel.
Sejak saat itu, Sami Zaidan tidak pernah lagi melihat keluarga dan kerabatnya. Karena telah menjadi buron pihak penjajah Zionis Israel bersama para mujahidin al Qassam. Tinggal di gua-gua dan gunung-gunung, seraya mempersiapkan rencana bersama teman-temannya untuk melakukan aksi-aksi kepahlawanan yang menggoncang langsung tempat pembaringan para penjajah.
Aksi yang paling terkenal, di mana Sami Zaidan turut dalam pelaksanaannya, adalah aksi kepahlawanan di permukiman Yahudi Emanuel pada 16 Juli 2002 yang mengakibatkan lebih dari 10 orang Israel tewas dan 40 orang lainnya terluka.
Sehari setelah aksi kepahlawanan ini, salah seorang teman seperjuangan di Brigade al Qassam, Ashim Ushaida, gugur syahid.
Setelah aksi kepahlawanan yang dilakukan Brigade al Qassam ini, yang merupakan aksi kedua di tempat yang sama, pihak penjajah Zionis Israel langsung menggelar operasi penyerbuan secara ekspansif di desa Tel dan kota Nablus guna mencari para pejuang al Qassam. Mereka gempur rumah-rumah pejuang al Qassam yang menjadi buron serta menangkap keluarga dan kerabatnya, menghancurkan rumah-rumah para pelaku aksi syahid dan para buron serta mengancam akan mendeportasi keluarga dan kerabat para pejuang ke Jalur Gaza. Pada suatu malam yang dingin dan gelap, Januari 2002, di desa Tel ada 6 mujahidin al Qassam yang telah duduk di sebuah lokasi di dalam desa. Sementara mata para antek pengecut tengah mengintai mereka. Keenam muajahidin Palestina tersebut adalah Nashrudin Ushaida bersama rekan-rekannya, Ashim Ushaida, Sami Zaidan, Umar Ushaida beserta saudaranya Ayub Ushaida dan Nail Ramadhan. Mereka tengah berkumpul membahas dan merencanakan aksi jihad. Namun tiba-tiba desa Tel telah dipenuhi serdadu militer Zionis Israel yang didukung dua pesawat heli tempur Apache buatan Amerika. Pertempuran sengit tidak bisa dihindarkan antara pejuang al Qassam ini dengan pasukan penjajah Zionis Israel hingga mengakibatkan salah seorang pejuang al Qassam Nail Ramadhan gugur syahid.
Pasukan penjajah Zionis Israel mengepung lokasi pertemuan para pejuang al Qassam terebut dan pada hari itu juga Ayub Ushaida ditangkap, sementara itu Allah menyelamatkan para mujahidin lainnya dan berhasil meloloskan diri.
Padahal jarak antara mereka dengan pasukan penjajah Zionis Israel hanya dua meter. Kehendak Ilahi telah mentakdirkan mereka untuk tetap bebas menjadi duri sandungan bagi penjajah Zionis Israel.
Sejak hari pertama bergabung dengan Brigade al Qassam, asy Syahid Sami Zaidan telah mengetahui tabiat jalan yang dipilih untuk dirinya. Jalan yang penuh dengan onak dan duri.
Dia tahu betul bahwa nasib para mujahidin hanya satu dari dua pilihan, kemenangan nyata dari Allah atau mati syahid di jalan-Nya. Dia yakin betul, bahwa siapa saja yang ingin berjuang maka dia harus jujur dengan Allah dan dirinya sendiri. Tidak mencari-cari alasan untuk membenarkan kemalasan dan kelambanannya.
Hari itu, Rabu tanggal 1 Januari 2003 pukul 8 malam, Sami bertolak sendirian menuju lokasi penyergapan di jalan antara permukiman Yahudi Emanuel dan Yetzihar dekat daerah lembah Qana. Setelah memastikan target dia bersiap sambil menunggu target mendekat, patroli penjaga perbatasan yang penuh dengan serdadu Zionis Israel bersenjata lengkap. Dia pun tetap menunggu mereka sendirian. Dan pada saat yang tepat, singa al Qassam ini langsung menggeber para serdadu dengan bom dan memuntahkan misiu dari moncong Klasnikov yang disandangnya hingga hingga semua serdadu Israel tersungkur antara tewas dan terluka. Setelah yakin semua serdadu Zionis Israel tersungkur, singa al Qassam ini melanjutkan episode penyergapan di lokasi lain. Dia sendiri telah memutuskan, hari itu dia bertekad tidak akan kembali kecuali telah syahid menuju syurga Allah.
Begitu rombongan serdadu Zionis Israel datang yang dikawal pesawat helikopter Apache buatan Amerika, maka gempuran pun tak dapat dihindari pasukan militer Israel hingga mereka kewalahan menghadapi singat al Qassam yang sepertinya menggoncangkan tanah tempat kaki mereka berpijak.
Pertempuran sengit berlangsung lebih dari 3 jam antara pejuang Palestina ini dengan para pengecut serdadu Zionis Israel yang terus mundur menghindari pertempuran. Pada saat itulah pesawat Apache yang biasa digunakan Zionis Israel dalam perbagai gempuran ke target-target warga Palestina memuntahkan roketnya ke posisi singa al Qassam ini hingga sebuah roket menghajar sisi kanannya bersama dengan tembusan timah panas yang dimuntahkan senjata otomatis ke tubuh sucinya. Sami pun kemudian menemui syahadah (mati syahid).
Setelah yakin bahwa pejuang Palestina telah gugur syahid, pasukan penjajah Zionis Israel meninggalkannya tergeletak di tanah tanpa memberi kabar kepada pihak terkait mengenai keberadaan jasad korban. Mereka berharap ada binatang buas atau tabiat alam yang melenyapkan jasadnya. Namun kehendak Allah berbicara lain, dia telah melindungi tubuh pejuang yang telah menjual jiwa dan hidupnya kepada-Nya.
Sepuluh hari kemudian jasad asy Syahid baru ditemukan oleh penggembala kambing saat melewati lokasi di manas Sami menemui syahadah. Penggembala pun segera teringat suara baku senjata di lokasi yang terjadi sepuluh hari yang lalu. Setelah mengenali tubuh asy Syahid, dia pun segera kembali ke desa yang memberi kabar keluarganya mengenai apa yang telah dilihatnya.
Ayah asy Syahid mengenang, “Sejak pihak pemerintah Palestina membiarkan anakku Sami Zaidan beberapa saat sebelum aksi pendudukan pasukan penjajah Zionis Israel atas kota Nablus pada April 2002, saya belum pernah melihat putraku yang telah menjadi buron pihak militer Zionis Israel. Pada 1 Januari 2003, kami mendengar kabar tentang aksi di lembah Qana. Paginya, saat kami mendengar berita dari stasiun TV al Manar, disebutkan bahwasanaya telah diketahui identitas asy Syahid yang gugur dalam aksi tersebut, yang tidak lain adalah putraku sendiri Sami Zaidan. Kami pun segera memuji Allah Azza wa Jalla karena putraku telah mendapatkan syahadah di jalan-Nya. Kami pun bersabar dan hanya mengharap pahala di sisi Allah tabaraka wa ta’ala.”
Warga desa Tel pun merasa terkejut dengan berita ini, pada awalnya mereka tidak percaya. Karena mereka yakin pasukan penjajah Zionis Israel “menculik” jasad asy Syahid setelah berakhirnya pertempuran, sebab inilah yang biasa dilakukan pihak penjajah Zionis Israel terhadap korban Palestina dalam peristiwa-peristiwa semacam ini. Mereka berkeyakinan bahwa jasad yang ditemukan adalah bukanlah jasad Sami. Hanya saja warga menegaskan sejak 10 hari dari pertempuran di lembah Qana tersebut belum pernah ada lagi aksi yang terjadi. Setelah keluarga bersama warga lainnya menuju lokasi mereka baru yakin bahwa itu adalah jasad Sami yang masih utuh dan segar.
Benar-benar karamah ilahiyah terjadi pada kesyahidan singa al Qassam ini.
Mereka yang hadir saat itu, seakan tidak percaya, menyaksikan kijang berada di sisi jasad asy Syahid. Hewan langka ini tidak meninggalkan jasad asy Syahid kecuali setelah warga berjarak beberapa meter saja. Seakan penjaga yang dikirim Allah untuk menghalau bahaya yang akan menimpa jasad asy Syahid.
Karamah lainnya, seperti ditegaskan warga desa Tel yang hadir, mereka melihat dengan mata kepala sendiri darah segar masih mengucur dari jasadnya.
Darah itu terus mengalir dan tidak mengering, segar dan merah seakan luka itu terjadi beberapa detik yang lalu. Bahkan warna kulitnya pun tidak mengalami perubahan apapun, semerbak bau wangi memenuhi sekitar lokasi.
Itulah sekelumit riwayat asy Syahid Sami “Muhmmad Samir” Zaidan, seorang pejuang tangguh yang lahir dari madrasah al Qassam di kota Nablus.

Ujub dan Takabur


Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”
Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”
Murid itu heran, “Mengapa, ya Tuan Guru?”
“Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab Bayazid.
“Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid.
“Bisa,” ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.”
“Tentu saja akan aku lakukan,” sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak- anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!”
“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu terkejut.
Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.”
Murid itu keheranan, “Mengapa bisa begitu?”
Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan- akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”
“Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.”
Bayazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!”
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur.
“Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak.
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?”
Nabi menjawab, :”Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah kamu.”
Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam.
Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah.”
Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya.”
Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di majelis itu?”
Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi.
Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?”
“Aku,” jawab Abu Bakar.
Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku’.”
Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?”
Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?”
Nabi masih bertanya, “Siapa yang akan membunuh orang itu?”
Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.”
Nabi kemudian bersabda, “Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah:
Selama di tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami kepada santrinya.

Kisah ibunda Khadijah r.ha

erva kurniawan 1:39 am pada 5 Maret 2012 Permalink | Balas  

Bermimpi Matahari Turun Ke Rumahnya
Dia adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.
Banyak pemuka Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kahwin berapa pun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan halus kerana tak ada yang berkenan di hatinya. Pada suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun dari langit, masuk ke dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya merata kesemua tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang luput dari sinarnya.
Mimpi itu diceritakan kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan ahli tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Waraqah berkata: “Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman.”
“Nabi itu berasal dari negeri mana?” tanya Khadijah bersungguh-sungguh.
“Dari kota Makkah ini!” ujar Waraqah singkat.
“Dari suku mana?”
“Dari suku Quraisy juga.”
Khadijah bertanya lebih jauh: “Dari keluarga mana?”
“Dari keluarga Bani Hasyim, keluarga terhormat,” kata Waraqah dengan nada menghibur.
Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan terakhir: “Siapakah nama bakal orang agung itu, hai sepupuku?”
Orang tua itu mempertegas: “Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!”
Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya. Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu.
Makkam Siti Khadijah
Makkam Siti Khadijah
Muhammad, bakal suami wanita hartawan itu, adalah seorang yatim piatu yang miskin sejak kecilnya, dipelihara oleh pamannya, Abu Thalib, yang hidupnya pun serba kekurangan. Meskipun demikian, pamanya amat sayang kepadanya, menganggapnya seperti anak kandung sendiri, mendidik dan mengasuhnya sebaik-baiknya dengan adab, tingkah laku dan budi pekerti yang terpuji.
Pada suatu ketika, Abu Thalib berbincang-bincang dengan saudara perempuannya bernama ‘Atiqah mengenai diri Muhammad. Beliau berkata: “Muhammad sudah pemuda dua puluh empat tahun. Semestinyalah sudah kawin. Tapi kita tak mampu mengadakan perbelanjaan, dan tidak tahu apa yang harus diperbuat.”
Setelah memikirkan segala ikhtiar, ‘Atiqah pun berkata: “Saudaraku, saya mendengar berita bahwa Khadijah akan memberangkatkan kafilah niaga ke negeri Syam dalam waktu dekat ini. Siapa yang berhubungan dengannya biasanya rezekinya bagus, diberkati Allah SWT. Bagaimana kalau kita pekerjakan Muhammad kepadanya? Saya kira inilah jalan untuk memperolehi nafkah, kemudian dicarikan isterinya.”
Abu Thalib menyetujui saran saudara perempuannya. Dirundingkan dengan Muhammad, ia pun tidak keberatan. ‘Atiqah mendatangi wanita hartawan itu, melamar pekerjaan bagi Muhammad, agar kiranya dapat diikut sertakan dalam kafilah niaga ke negeri Syam.
Khadijah, tatkala mendengar nama “Muhammad”, ia berfikir dalam hatinya: “Oh… inikah takwil mimpiku sebagaimana yang diramalkan oleh Waraqah bin Naufal, bahwa ia dari suku Quraisy dan dari keluarga Bani Hasyim, dan namanya Muhammad, orang terpuji, berbudi pekerti tinggi dan nabi akhir zaman.” Seketika itu juga timbullah hasrat di dalam hatinya untuk bersuamikan Muhammad, tetapi tidak dilahirkannya karena kuatir akan menjadi fitnah.
“Baiklah,” ujar Khadijah kepada ‘Atiqah, “saya terima Muhammad dan saya berterima kasih atas kesediaannya. Semoga Allah SWT melimpahkan berkatnya atas kita bersama.”. Wajah Khadijah cerah, tersenyum sopan, menyembunyikan apa yang ada di kalbunya. Kemudian ia meneruskan: “Wahai ‘Atiqah, saya tempatkan setiap orang dalam rombongan niaga dengan penghasilan tinggi, dan bagi Muhammad SAW akan diberikan lebih tinggi dari biasanya.”
‘Atiqah berterima kasih, ia pulang dengan perasaan gembira menemui saudaranya, menceritakan kepadanya hasil perundingannya dengan wanita hartawan dan budiman itu. Abu Thalib menyambutnya dengan gembira. Kedua saudara itu memanggil Muhammad SAW seraya berkata: “Pergilah ananda kepada Khadijah r.a, ia menerima engkau sebagai pekerjanya. Kerjakanlah tugasmu sebaik-baiknya.”
Muhammad SAW menuju ke rumah wanita pengusaha itu. Sementara akan keluar dari pekarangan rumah pamannya, tiba-tiba ia mencucurkan air mata kesedihan mengenang nasibnya. Tiada yang menyaksikannya dan menyertainya dalam kesedihan hati itu selain para malaikat langit dan bumi.
Kesaksian Seorang Rahib
Tatkala kafilah niaga itu siap akan berangkat, berkatalah Maisarah, kepala rombongan: “Hai Muhammad, pakailah baju bulu itu, dan peganglah bendera kafilah. Engkau berjalan di depan, menuju ke negeri Syam!”
Muhammad SAW melaksanakan perintah. Setelah iring-iringan keluar dari halaman memasuki jalan raya, tanpa sadar Muhammad SAW menangis kembali, tiada yang melihatnya kecuali Allah dan para malaikat-Nya. Dari mulutnya terucap suara kecil: “Aduh hai nasib! dimana gerangan ayahku Abdullah, dimana gerangan ibuku Aminah. Kiranya mereka menyaksikan nasib anaknya yang miskin yatim piatu ini, yang justeru lantaran ketiadaannyalah sehingga terbawa jadi buruh upahan ke negeri jauh. Aku tidak tahu apakah aku masih akan kembali lagi ke negeri ini, tanah tumpah darahku.”
Jeritan batin itu membuat para malaikat langit bersedih. Mereka memintakan rahmat baginya. Maisarah memperlakukan Muhammad SAW dengan agak istimewa, sesuai dengan wasiat Khadijah. Diberinya pakaian terhormat, kendaraan unta yang tangkas dengan segala perlengkapannya.
Perjalanan mengambil waktu beberapa hari. Terik matahari begitu panas sekali. Tetapi Muhammad SAW berjalan senantiasa dipayungi awan yang menaunginya hingga mereka berhenti di sebuah peristirahatan dekat rumah seorang Rahib Nasrani.
Muhammad SAW turun dari untanya, pergi berangin-angin melepaskan lelah di bawah pohon yang teduh. Rahib keluar dari tempat pertapaannya. Ia terheran-heran melihat gumpalan awan menaungi kafilah dari Makkah, padahal tak pernah terjadi selama ini. Ia tahu apa arti tanda itu karena pernah dibacanya di dalam Kitab Taurat. Rahib menyiapkan suatu perjamuan bagi kafilah itu dengan maksud untuk menyiasat siapa pemilik karomah dari kalangan mereka.
Semua anggota rombongan hadir dalam majlis perjamuan itu, kecuali Muhammad SAW seorang diri yang tinggal untuk menjaga barang-barang dan kendaraan. Ketika Rahib melihat awan itu tidak bergerak, tetap di atas kafilah, bertanyalah beliau: “Apakah di antara kalian masih ada yang tidak hadir di sini?”
Maisarah menjawab: “Hanya seorang yang tinggal untuk menjaga barang-barang.”
Rahib pergi menjemput Muhammad SAW dan terus menjabat tangannya, membawanya ke majlis perjamuan. Ketika Muhammad SAW. bergerak, Rahib memperhatikan awan itu turut bergerak pula mengikuti arah ke mana Muhammad SAW berjalan. Dan di saat Muhammad SAW masuk ke ruangan perjamuan, Rahib keluar kembali menyaksikan awan itu, dan dilihatnya awan itu tetap di atas, tidak bergerak sedikit pun walaupun dihembus angin. Maka mengertilah ia siapa gerangan yang memiliki karomah dan keutamaan itu.
Rahib masuk kembali dan mendekati Muhammad SAW, bertanya: “Hai pemuda, dari negeri mana asalmu?”
“Dari Makkah”.
“Dari qabilah mana?” tanya sang Rahib.
“Dari Quraisy, tuan!”
“Dari keluarga siapa?”
“Keluarga Bani Hasyim.”
‘Siapa namamu?”
“Namaku, Muhammad.”
Serta merta ketika mendengar nama itu, Rahib berdiri dan terus memeluk Muhammad SAW serta menciumnya di antara kedua alisnya seraya mengucapkan: “Laa Ilaaha Illallaah, Muhammadar Rasulullah.” Ia menatap wajah Muhammad SAW dengan perasaan takjub, seraya bertanya: “Sudikah engkau memperlihatkan tanda di badanmu agar jiwaku tenteram dan keyakinanku lebih mantap?”
“Tanda apakah yang tuan maksudkan?” tanya Muhammad SAW.
“Silakan buka bajumu supaya kulihat tanda akhir kenabian di antara kedua bahumu!”
Muhammad SAW. memperkenankannya, dimana Rahib tua itu melihat dengan jelas ciri-ciri yang dimaksudkan. “Ya….ya….tertolong, tertolong!” seru Rahib. “Pergilah ke mana hendak pergi. Engkau terus ditolong!”
Rahib itu mengusap wajah Muhammad SAW, sambil menambahkan: “Hai hiasan di hari kemudian, hai pemberi syafa’at di akhirat, hai peribadi yang mulia, hai pembawa nikmat, hai nabi rahmat bagi seluruh alam!”
Dengan pengakuan demikian, Rahib dari Ahlil-Kitab itu telah menjadi seorang muslim sebelum Muhammad SAW. dengan rasmi menerima wahyu kerasulan dari langit.
Reruntuhan Rumah Khadijah
Pasar dibuka beberapa hari lamanya. Semua jualan laris dengan keuntungan berlipat ganda, mengatasi pengalaman yang sudah-sudah. Kebetulan pada saat itu bertepatan dengan hari Yahudi, yang dimeriahkan dengan upacara besar-besaran.
Muhammad SAW, Abu Bakar dan Maisarah keluar menonton keramaian itu. Tatkala Muhammad SAW memasuki tempat upacara untuk menyaksikan cara mereka beribadat, maka tiba-tiba berjatuhanlah semua lilin-lilin menyala yang bergantungan pada tali di sekitar ruangan, yang menyebabkan orang – orang Yahudi gemetar ketakutan.
Seorang di antara mereka bertanya: “Alamat apakah ini?” Semuanya heran, cemas dan ketakutan. “Ini berarti ada orang asing yang hadir di sini,” jawab pengerus upacara. “Kita baca dalam Taurat bahwa alamat ini akan muncul bilamana seorang lelaki bernama Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, mendatangi hari raya agama Yahudi. Mungkinkah sekarang orang itu berada di ruangan kita ini. Carilah lelaki itu, dan kalau bertemu, segeralah tangkap!”
Abu Bakar r.a, sahabat Muhammad SAW sejak dari kecil, dan Maisarah, yang mendengar berita itu segera mendekati Muhammad SAW yang berdiri agak terpisah, dan mengajaknya keluar perlahan-lahan di tengah-tengah kesibukan orang yang berdesak-desakan keluar masuk ruangan.
Tanpa menunda waktu lagi, Maisarah segera memerintahkan kafilah berangkat pulang ke Makkah. Dengan demikian tertolonglah Muhammad SAW dari kejahatan orang-orang Yahudi.
Nabi Muhammad Pulang Ke Makkah
Biasanya dalam perjalanan pulang, kira-kira jarak tujuh hari mendekati Makkah, Maisarah mengirim seorang utusan kepada Khadijah r.a, memberitahukan bakal kedatangan kafilah serta perkara-perkara lain yang menyangkut perjalanan.
Maisarah menawarkan kepada Muhammad SAW: “Apakah engkau bersedia diutus membawa berita ke Makkah?” Muhammad SAW berkata: “Ya, saya bersedia apabila ditugaskan”.
Pemimpin rombongan mempersiapkan unta yang cepat untuk dinaiki oleh utusan yang akan berangkat terlebih dahulu ke kota Makkah. Ia pun menulis sepucuk surat memberikan kepada majikannya bahwa perniagaan kafilah yang disertai Muhammad SAW mendapat hasil laba yang sangat memuaskan, dan menceritakan pula tentang pengalaman-pengalaman aneh yang berkaitan dengan diri Muhammad SAW.
Tatkala Muhammad SAW menuntun untanya dan sudah hilang dari pandangan mata, maka Allah SWT menyampaikan wahyu kepada malaikat Jibril a.s .: “Hai Jibril, singkatkanlah bumi di bawah kaki-kaki unta Muhammad SAW! Hai Israfil, jagalah ia dari sebelah kanannya! Hai Mikail, jagalah ia dari sebelah kirinya! Hai awan, teduhilah ia di atas kepalanya!”
Kemudian Allah SWT mendatangkan ngantuk kepadanya sehingga baginda SAW tertidur nyenyak dan tiba-tiba telah sampai di Makkah dalam tempoh yang cukup singkat. Saat terbangun, ia heran mendapati dirinya telah berada di pintu masuk kota kelahirannya. Baginda SAW sadar bahwa ini adalah mukjizat Tuhan kepadanya, lalu bersyukur memuji Zat Yang Maha Kuasa.
Sementara baginda SAW mengarahkan untanya menuju ke tempat Khadijah r.a, secara kebetulan Khadijah r.a pada saat itu sedang duduk sambil kepalanya keluar jendela memandangi jalan ke arah Syam, tiba-tiba dilihatnya Muhammad SAW di atas untanya dari arah bertentangan di bawah naungan awan yang bergerak perlahan-lahan di atas kepalanya. Khadijah r.a menajamkan matanya, bimbang kalau-kalau tertipu oleh penglihatannya, sebab yang dilihatnya hanyalah Muhammad SAW sendirian tanpa rombongan, padahal telah dipesannya kepada Maisarah agar menjaganya sebaik-baik. Ia bertanya kepada wanita-wanita sahayanya yang duduk di sekitarnya: “Apakah kamu mengenali siapa pengendara yang datang itu?” sambil tangannya menunjuk ke arah jalan.
Seorang di antara mereka menjawab: “Seolah-olah Muhammad Al-Amiin, ya sayyidati!”
Kegembiraan Khadijah r.a terlukis dalam ucapannya: “Kalau benar Muhammad Al-Amiin, maka kamu akan kumerdekakan bilamana ia telah sampai!”
Tak lama kemudian muncullah Muhammad SAW di depan pintu rumah wanita hartawan itu, yang langsung menyambutnya dengan tutur sapa tulus ikhlas: “Kuberikan anda unta pilihan, tunggangan khusus dengan apa yang ada di atasnya.”
Muhammad SAW mengucapkan terima kasih, kemudian menyerahkan surat dari ketua rombongan. Ia minta izin pulang ke rumah Pamannya setelah melaporkan tentang perniagaan mereka ke luar negeri.
Khadijah Menawarkan Diri
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata: “Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!” Suaranya ramah, bernada dermawan.
Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu harga dirinya, Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti. Katanya: “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu”. Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban.
“Oh, itukah….! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan,” kata Khadijah r.a. “Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu”. Ia berhenti sejenak, meneliti. Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung isyarat: “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu”. Khadijah tertunduk lalu melanjutkan: “Tetapi sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu”.
Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawapan, yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab.
Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah r.a.
Ia minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia menceritakan kepada Pamannya: “Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini dan itu “anu dan anu….” Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya itu.
‘Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim. Katanya: “Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya”. ‘Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya: “Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?”
Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati ‘Atiqah: “Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya; kalau tidak, aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati”.
Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat ‘Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius.
“Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu Waraqah bin Naufal?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan: “Kalau belum cobalah meminta persetujuannya.”
“Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran”, Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman.
‘Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan Khadijah “Itu bagus sekali”, kata Abu Thalib, “tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW lebih dulu.”
Rumah peninggalan Nabi Muhammmad saw dan sayyidah Khadijah
Sebelum diajak bermusyawarah, maka terlebih dahulu ia pun telah menerima seorang perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a yang datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan peribadi Khadijah itu bertanya: “Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari isteri?”
Muhammad SAW menjawab: “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”
“Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan menolaknya?”
“Siapakah dia?” tanya Muhammad SAW.
“Khadijah!” Nafisah berterus terang. “Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!”
Usaha Nafisah berhasil. Ia meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan langsung menemui Khadijah r.a, menceritakan kesediaan Muhammad SAW. Setelah Muhammad SAW menerima pemberitahuan dari saudara-saudaranya tentang hasil pertemuan dengan Khadijah r.a, maka baginda tidak keberatan mendapatkan seorang janda yang usianya lima belas tahun lebih tua daripadanya.
Betapa tidak setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia wanita bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan yang utama karena hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan dijodohkan dengannya.
Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur empat puluh, tapi janda yang masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih dan bermata jeli. Maka diadakanlah majlis yang penuh keindahan itu. Hadir Waraqah bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan resmi meminang Khadijah r.a kepada saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta tempo untuk berunding dengan wanita yang berkenaan.
Pernikahan Muhammad dengan Khadijah
Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah: “Hai anak sepupuku, betapa aku akan menolak Muhammad SAW padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas”.
“Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah.
“Kalau ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki. Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khadijah r.a menyerahkan urusannya.
Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan merestui bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan mas kahwin lima ratus dirham. Abu Bakar r.a, yang kelak mendapat sebutan “Ash-Shiddiq”, sahabat akrab Muhammad SAW. sejak dari masa kecil, memberikan sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawaan Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan agung, apalagi karena yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula.
Peristiwa pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah r.a berlangsung pada hari Jum’at, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah pamannya bernama ‘Amir bin Asad, sedang Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut: “Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar.
“Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama manusia.
“Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kahwin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.
“Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta pengalaman-pengalaman hebat.
“Semoga Allah memberkati pernikahan ini”.
Penyambutan untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah r.a membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan: “Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke jalan mana yang engkau ridhoi !”
Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan”. (Adh-Dhuhaa: 8) Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita.
Dijamin Masuk Syurga
Khadijah r.a mendampingi Muhammad SAW. selama dua puluh enam tahun, yakni enam belas tahun sebelum dilantik menjadi Nabi, dan sepuluh tahun sesudah masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada duanya, bercerai karena kematian. Tahun wafatnya disebut “Tahun Kesedihan” (‘Aamul Huzni).
Khadijah r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada Rasulullah SAW. ketika wahyu pertama turun dari langit. Tidak ada yang mendahuluinya. Ketika Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya pada peristiwa turunnya wahyu pertama yang disampaikan Jibril ‘alaihissalam, dimana beliau merasa ketakutan dan menggigil menyaksikan bentuk Jibril a.s dalam rupa aslinya, maka Khadijahlah yang pertama dapat mengerti makna peristiwa itu dan menghiburnya, sambil berkata: “Bergembiralah dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah SWT yang menguasai diri Khadijah r.a, engkau ini benar-benar akan menjadi Nabi Pesuruh Allah bagi umat kita.
“Allah SWT tidak akan mengecewakanmu. Bukankah engkau orang yang senantiasa berusaha untuk menghubungkan tali persaudaraan? Bukankah engkau selalu berkata benar? Bukankah engkau senantiasa menyantuni anak yatim piatu, menghormati tamu dan mengulurkan bantuan kepada setiap orang yang ditimpa kemalangan dan musibah?”
Khadijah r.a membela suaminya dengan harta dan dirinya di dalam menegakkan kalimah tauhid, serta selalu menghiburnya dalam duka derita yang dialaminya dari gangguan kaumnya yang masih ingkar terhadap kebenaran agama Islam, menangkis segala serangan caci maki yang dilancarkan oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan Quraisy.
Layaklah kalau Khadijah r.a mendapat keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain yaitu, menerima ucapan salam dari Allah SWT. yang disampaikan oleh malaikat Jibril a.s kepada Rasulullah SAW. disertai salam dari Jibril a.s peribadi untuk disampaikan kepada Khadijah radiallahu ‘anha serta dihiburnya dengan syurga.
Kesetiaan Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi SAW kepadanya tanpa terbatas. Nabi SAW pernah berkata: “Wanita yang utama dan yang pertama akan masuk Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad SAW., Maryam binti ‘Imran dan Asyiah binti Muzaahim, isteri Fir’aun”.
Wanita Terbaik
Sanjungan lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah SAW. terhadap peribadi Khadijah r.a ialah: “Dia adalah seorang wanita yang terbaik, karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam kebimbanga, dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain”.
Putera-puteri Rasulullah SAW. dari Khadijah r.a sebanyak tujuh orang: tiga lelaki (kesemuanya meninggal di waktu kecil) dan empat wanita. Salah satu dari puterinya bernama Fatimah, dinikahkan dengan Ali bin Abu Thalib, sama-sama sesuku Bani Hasyim. Keturunan dari kedua pasangan inilah yang dianggap sebagai keturunan langsung dari Rasulullah SAW.

Wasiat Rasululloh s.a.w kepada Aisyah


Wasiat Rasululloh s.a.w kepada Aisyah
Saiyidatuna ‘Aisyah r.’a meriwayatkan : Rasulullah SAW bersabda “Hai Aisyah, aku berwasiat kepada engkau. Hendaklah engkau senantiasa mengingat wasiatku ini. Sesungguhnya engkau akan senantiasa di dalam kebajikan selama engkau mengingat wasiatku ini…”
Intisari wasiat Rasulullah s.a.w tersebut dirumuskan seperti berikut: Hai, Aisyah, peliharalah diri engkau. Ketahuilah bahwa sebagian besar daripada kaum engkau (kaum wanita) adalah menjadi kayu api di dalam neraka. Diantara sebab-sebabnya ialah mereka itu :
  1. Tidak dapat menahan sabar dalam menghadapi kesakitan (kesusahan), tidak sabar apabila ditimpa musibah
  2. tidak memuji Allah Taala atas kemurahan-Nya, apabila dikaruniakan nikmat dan rahmat tidak bersyukur.
  3. mengkufurkan nikmat; menganggap nikmat bukan dari Allah (d) membanyakkan kata-kata yang sia-sia, banyak bicara Yang tidak bermanfaat.
Wahai, Aisyah, ketahuilah :
  1. bahwa wanita yang mengingkari kebajikan (kebaikan) yang diberikan oleh suaminya maka amalannya akan digugurkan oleh Allah
  2. bahwa wanita yang menyakiti hati suaminya dengan lidahnya, maka pada hari kiamat, Allah menjadikan lidahnya tujuh puluh hasta dan dibelitkan di tengkuknya.
  3. bahwa isteri yang memandang jahat (menuduh atau menaruh sangkaan buruk terhadap suaminya), Allah akan menghapuskan muka dan tubuhnya Pada hari kiamat.
  4. bahwa isteri yang tidak memenuhi kemauan suami- nya di tempat tidur atau menyusahkan urusan ini atau mengkhiananti suaminya, akan dibangkitkan Allah pada hari kiamat dengan muka yang hitam, matanya kelabu, ubun-ubunnya terikat kepada dua kakinya di dalam neraka.
  5. bahwa wanita yang mengerjakan sembahyang dan berdoa untuk dirinya tetapi tidak untuk suaminya, akan dipukul mukanya dengan sembahyangnya.
  6. bahwa wanita yang dikenakan musibah ke atasnya lalu dia menampar-nampar mukanya atau merobek-robek pakaiannya, dia akan dimasukkan ke dalam neraka bersama dengan Isteri nabi Nuh dan isteri nabi Luth dan tiada harapan mendapat kebajikan syafaat dari siapa pun;
  7. bahwa wanita yang berzina akan dicambuk dihadapan semua makhluk didepan neraka pada hari kiamat, tiap-tiap perbuatan zina dengan depalan puluh cambuk dari api.
  8. bahwa isteri yang mengandung ( hamil ) baginya pahala seperti berpuasa pada siang harinya dan mengerjakan qiamul-lail pada malamnya serta pahala berjuang fi sabilillah.
  9. bahwa isteri yang bersalin ( melahirkan ), bagi tiap-tiap kesakitan yang dideritainya diberi pahala memerdekakan seorang budak. Demikian juga pahalanya setiap kali menyusukan anaknya.
  10. bahwa wanita apabila bersuami dan bersabar dari menyakiti suaminya, maka diumpamakan dengan titik-titik darah dalam perjuangan fisabilillah.
 

Kisah Teladan

erva kurniawan 1:12 am pada 7 Maret 2012 Permalink | Balas  

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda: “Menguap itu dari Syaitan. Maka apabila seseorang di antara kamu menguap, hendaklah ditahannya sedapat mungkin. Sesungguhnya jika seseorang di antara kamu mengatakan “ha” lantaran menguap, tertawalah syaitan.” [Bukhari]
Hadis dari Abu Hurairah r.a: Diriwayatkan daripada Nabi s.a.w katanya: Seorang lelaki berkata: Aku akan memberikan sedekah pada malam ini. Lalu dia keluar membawa sedekahnya dan meletakkannya di tangan seorang perempuan yang berzina yaitu pelacur. Keesokannya orang banyak memperbincangkan mengenai perempuan tersebut yang telah diberikan sedekah pada malam tadi. Lelaki itu berkata: Wahai Tuhanku! Hanya buatMu segala puji-pujian! Sedekahku telah aku berikan kepada wanita yang berzina. Aku akan bersedekah lagi, lalu dia keluar membawa sedekahnya dan meletakkannya di tangan orang kaya. Keesokan harinya orang banyak memperbincangkan mengenai seorang kaya yang telah diberikan sedekah. Lelaki itu berkata: Wahai Tuhanku! Hanya buatMu segala puji-pujian. Sedekahku telah aku berikan kepada seorang yang kaya. Aku akan bersedekah lagi, lantas dia keluar dengan membawa sedekah dan meletakkannya di tangan seorang pencuri. Esoknya orang banyak mulai bercakap-cakap mengenai seorang pencuri telah diberikan sedekah. Dia berkata: Wahai Tuhanku! Hanya buatMu segala puji-pujian! Sedekahku telah aku berikan kepada seorang perempuan zina, pada orang kaya dan pada pencuri. Lalu dia didatangi seseorang dan dikatakan kepadanya: Sedekahmu benar-benar telah diterima. Boleh jadi perempuan zina itu berhenti dari berzina kerana sedekahmu. Orang kaya itu pula dapat mengambil pelajaran dan mau membelanjakan sebagian dari harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya dan mungkin juga pencuri itu akan berhenti dari mencuri karena sedekahmu itu. [Bukhari/Muslim]
Dalam sebuah hadits disebutkan, yang artinya : Janganlah kamu malu bersedekah walaupun setengah Biji korma yang dapat kamu sedekahkan.
Akhirnya ….. Marilah kita memperbanyak sedekah meskipun sedikit namun ikhlas.

Kisah Yusuf dan Zulaiha

Sungguh berat malam yang panas itu dirasakan oleh Ra’il, wanita cantik yang biasa dipanggil dengan nama Zulaiha. Ia senantiasa mempercantik paras, menghias diri, dan memakai wangi-wangian. Kemudian berdiri, pagi dan petang, di beranda istananya di atas Sungai Nil, dalam kegelisahan yang tak jelas penyebabnya.
Angin sepoi bertiup tenang dan halus, seakan enggan mengusik ranting-ranting pohon bunga yang mengelilingi beranda istana itu, Zulaiha memandangi sungai dan airnya yang tenang, dan sesekali wajahnya menoleh ke atas, melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit nan tinggi, mengelilingi bulan yang sebagian sinarnya terhalang oleh awan.
Sesaat kemudian, seorang pelayan menghampiri dengan segelas sari buah dingin untuknya, tetapi sang puteri menolak dan malah memerintahkan pelayan itu untuk kembali. Nafasnya semakin menyesakkan, serasa hampir-hampir mencekik lehernya. Dia sendiri tidak tahu apa yang digelisahkannya. Kecantikan? Bukan! Dia wanita tercantik di seluruh Mesir. Anak? Mungkin itu benar, sebab sampai saat ini ia belum dikaruniai seorang anak pun.
Sebenarnya ia dapat saja mengambil anak angkat yang disukainya, sebab ia orang terkaya di negeri itu. Tapi naluri keibuannya ternyata menentang niatnya. Dia ingin mengandung dan melahirkan puteranya sendiri, sebagaimana wanita-wanita lain. Tapi suratan takdir menghendaki lain, suaminya tidak kuasa mengubah impiannya menjadi kenyataan.
Berkecamuklah semua fikiran itu di kepalanya. Ia terlena dalam lamunannya, sampai suara halus suaminya tiba-tiba mengejutkan hatinya.
“Ra’il, isteriku yang cantik, bergembiralah!” Kata suaminya sambil menunjukkan sesuatu.
Zulaiha menoleh kepada suaminya, dan betapa terkejut ketika ia lihat suaminya datang bersama seorang anak kecil.
“Siapa namamu?” tanya Zulaiha. Dengan suara yang hampir-hampir tidak terdengar, anak itu menjawab, “Yusuf”.
Al-Aziz, suami Zulaiha, kemudian mengikutinya dari belakang serta berkata, “Telah kubeli ia dari kafilah yang kutemui disebuah telaga di padang pasir. Berikanlah kepadanya tempat dan layanan yang baik, boleh jadi ia bermanfaat bagi kita, atau kita pungut ia sebagai anak”.
Isteri al-Aziz tidak mengetahui takdir apa yang bakal terjadi antara dia dan anak itu di hari-hari yang akan datang. Yang jelas ia merasa senang atas kedatangan anak itu, dan hilanglah kesedihan yang selama ini menghimpit dadanya. Hari-hari berlalu. Yusuf semakin besar dan menjadi dewasa. Wajahnya tampak semakin tampan. Isteri Aziz tidak mengerti kebahagiaan apa yang meresap di hatinya setiap kali ia memandang Yusuf, dan kesedihan yang menghantuinya ketika Yusuf hilang dari pandangannya.
Setiap kali malam tiba, dan Yusuf pergi ke kamar tidurnya, Zulaiha merasa ada sesuatu yang mengusik lubuk jiwanya, sehingga kadang kala ia bangun meninggalkan suaminya yang sedang tidur, kemudian pergi ke pintu kamar Yusuf. Zulaiha berdiri di pintu kamar Yusuf beberapa saat. Dalam hatinya timbul keraguan: apakah sebaiknya ia masuk menemui Yusuf seperti yang diinginkannya, ataukah ia kembali ke tempatnya sendiri di samping suaminya.
Fikiran seperti itu selalu mengganggu hatinya semalaman, sampai cahaya matahari pagi terlihat masuk melalui jendela-jendela kamarnya. Jika sudah demikian, ia kembali ke kamar suaminya.
Setiap kali pandangannya bertemu dengan pandangan Yusuf, ia merasakan keinginan yang kuat untuk selalu berada dekat pemuda itu, dan tak ingin rasanya berpisah untuk selama-lamanya. Namun, hati kecilnya berkata bahwa Yusuf tidak memendam perasaan yang sama seperti perasaannya. Pertanyaan yang selalu mengusik kalbunya adalah: Apakah Yusuf mencintainya sebagaimana ia mencintai Yusuf? Apakah Yusuf memendam perasaan seperti yang dipendamnya? Meskipun hati kecilnya berkata bahwa Yusuf tidak menampakkan sikap seperti itu, ia tidak mau mendengar jawaban itu.
Pada suatu petang, isteri Aziz merasa tidak kuasa lagi hanya berdiri di ambang cinta yang disimpannya kepada Yusuf. Ia kemudian berdiri dimuka cermin, mengagumi kecantikan parasnya, seraya berkata kepada dirinya sendiri, “Adakah, di seluruh Mesir ini, wanita yang kecantikannya melebihi kecantikanku, sehingga Yusuf menghindar dariku? Tidak boleh tidak, wahai, Yusuf, hari ini aku akan menjumpaimu dengan segala macam bujukan dan rayuan, sampai engkau tunduk kepadaku”.
Kemudian ia membuka lemari, dan matanya mengamati setumpuk pakaian di dalamnya. Dipilihnya salah satu gaunnya yang paling indah, berwarna merah dengan model yang membangkitkan gairah laki-laki. Manakala gaun itu dikenakan, maka sebagian auratnya yang seharusnya tersembunyi akan tampak. Itulah yang justru dikehendakinya. Kemudian ia memakai wangi wangian di sekujur tubuhnya, yang menyebabkan seorang lelaki akan bergairah karena baunya.
Setelah itu, ia atur rambutnya seindah-indahnya di malam yang sunyi itu. Setelah menyelesaikan dan menyempurnakan dandanannya, Zulaiha mengamati sekelilingnya, hingga ia benar-benar yakin bahwa tidak ada seorang pun pelayannya yang masih menunggunya di situ; semuanya sudah lelap di kamarnya masing-masing di kegelapan malam itu. Ia pun tahu bahwa suaminya sedang memenuhi panggilan seorang hakim Mesir dan sibuk dengan urusan-urusannya, sehingga tidak mungkin ia akan kembali sebelum fajar pagi tiba.
Setelah segalanya beres, pergilah ia menuju kamar Yusuf. Didapatinya pintu kamar itu tertutup dan lampunya sudah dimatikan. Dengan perlahan ia mengetuk; satu kali, dua kali … dan tiga kali. Tak lama kemudian, Yusuf pun bangun menyalakan lampu dan membukakan pintu. Alangkah terkejutnya Yusuf ketika ia melihat isteri al-Aziz sudah berada di hadapannya. Tapi ia tidak berkata apa-apa kecuali hanya diam menunduk.
Tiba-tiba Zulaiha masuk ke dalam, mendekatinya dengan ramah, dan memegang tangannya sambil menutup pintu kamar. Zulaiha merasakan kegelisahan, ketakutan, dan tak kuasa menatap pandangan kedua mata Yusuf. Ia lalu berpaling ke arah Yusuf, sedangkan Yusuf selalu berusaha menjauh darinya.
Isteri al-Aziz kemudian berkata, “Apakah maksud semua ini, hai, Yusuf? Janganlah engkau menjauh dariku, sehingga aku binasa karena rindu kepadamu”.
Yusuf diam tanpa jawaban.
Isteri al-Aziz mendekatinya lagi seraya berkata, “Aduhai, Yusuf, betapa indahnya rambutmu!”
Yusuf menjawab, “Inilah sesuatu yang pertama kali akan berhamburan dari tubuhku setelah aku mati”.
“Aduhai, Yusuf, betapa indahnya kedua matamu!” Bujuk isteri al-Aziz lagi.
“Keduanya ini adalah benda yang pertama kali akan lepas dari kepalaku dan akan mengalir di muka bumi!”
Isteri al-Aziz berkata lagi, “Betapa tampannya wajahmu, hai, Yusuf”.
“Tanah kelak akan melumatnya,” Jawab Yusuf.
Kemudian Zulaiha berkata kepadanya, “Telah terbuka tubuhku karena ketampanan wajahmu”.
“Syaitan menolongmu untuk berbuat hal itu!” Kata Yusuf.
“Yusuf! Bagaimanapun aku harus mendapatkan apa yang selama ini kudambakan, dan kini aku datang karenanya”. Kata Zulaiha.
Yusuf menjawab: “Ke manakah aku akan lari dari murka Allah jika aku mendurhakaiNya?”
Isteri al-Aziz sadar bahwa Yusuf benar-benar tidak mau memenuhi apa yang ia inginkan. Maka, ia pun lebih mendekat lagi, dan meletakkan badan Yusuf di atas dadanya. Ia berharap Yusuf akan tertarik kepadanya dan mau memenuhi keinginannya. Akan tetapi, di luar dugaannya, Yusuf malah menghindar darinya dan segera berlari hendak keluar dari kamar itu.
Isteri al-Aziz tak habis berfikir mengapa Yusuf sedemikian keras mempertahankan kesuciannya di hadapan wanita cantik yang telah siap melayaninya, bahkan lari menjauh darinya. Ia lalu mengejar Yusuf dari belakang untuk memaksanya. Ketika sudah sangat dekat, dipegangnyalah bagian belakang baju Yusuf dan ditariknya kuat-kuat. Dengan penuh kemarahan, ia melarang Yusuf keluar dari kamar.
Akhirnya, Koyaklah bagian belakang baju Yusuf.
Pada saat yang sama, tiba-tiba al-Aziz sudah berada di hadapan mereka berdua, bersama saudara sepupu Zulaiha. Dengan serta merta isteri al-Aziz berkata: “Apakah hukuman bagi orang yang akan berbuat serong kepada isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan siksaan yang pedih?” Dengan perkataan itu, Zulaiha bermaksud menyatakan bahwa Yusuf telah berbuat yang melampaui batas atas dirinya.
Al-Aziz sangat marah atas terjadinya peristiwa memalukan itu. Karena tidak menduga hal itu dilakukan oleh Yusuf, seorang anak terlantar yang telah dibelinya, dipeliharanya, dan dikasihinya seperti kasih sayang seorang ayah kepada puteranya sendiri. Tidak mungkin hal itu bisa terjadi?
Yusuf sadar bahwa isteri al-Aziz telah berkata dusta tentang dirinya dan menuduhnya dengan tuduhan palsu. Maka, segeralah Zulaiha berkata kepada al-Aziz: “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)”. Allah ternyata menghendaki bebasnya Yusuf dari tuduhan wanita itu. Seorang bayi yang masih menyusu, anak salah seorang keluarga Zulaiha yang ketika itu datang ke istana, tiba-tiba berkata, “Jika bajunya koyak di bagian muka, maka wanita itulah yang benar dan Yusuf termasuk orang-orang dusta. Dan jika bajunya koyak di bagian belakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar”.
Mendengar itu, segeralah al-Aziz menghampiri Yusuf untuk melihat bajunya. ketika didapatinya baju Yusuf koyak di bagian belakang (karena tarikan isterinya), mengertilah al-Aziz akan pengkhianatan isterinya dan bersihnya Yusuf dari tuduhan itu. Kemudian ia berkata: “Sungguh, inilah tipu muslihatmu. Sungguh dahsyat tipu muslihatmu!”
Kemudian ia memandang Yusuf seraya berkata: “Hai, Yusuf, berpalinglah dari ini!” Maksud perkataan itu adalah agar Yusuf tidak memberitakan aib yang terjadi atas diri isterinya itu, sehingga tidak terdengar oleh orang ramai. Sedangkan kepada isterinya ia berkata: “Dan (kamu, hai isteriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang berbuat salah”.
“Celakalah kamu, Yusuf!” Kata isteri al-Aziz dengan kemarahan yang memuncak, karena Yusuf menolak kecantikan dan kebesarannya. “Tidak! aku tak akan membiarkanmu, Yusuf. Bagaimana pun akan kucari jalan lain yang dapat mempedayakanmu, hingga kamu memenuhi apa yang kukehendaki…”
Hari-hari pun berlalu, dan al-Aziz yang kalah dalam urusan itu berusaha memohon kerelaan isterinya menghadapi kenyataan itu, sementara sang isteri menyanggahnya dengan dalih bahwa suaminya telah menjatuhkan martabat dan kemuliaannya. Zulaiha tahu benar bahwa setiap kali ia menampakkan Kebenciannya kepada suaminya,sang suami benar-benar Berusaha mendekati dan membujuknya karena ia sangat mencintainya dan merasa lemah di hadapan kecantikan wajahnya dan ketinggian peribadinya, yang sebenarnya bersifat mulia.
Yusuf sendiri akhirnya berdiam sepanjang hari di dalam kamarnya, karena peristiwa aib itu terjadi di situ. Ia tidak keluar dari kamarnya kecuali ada suatu pekerjaan penting yang ditugaskan oleh tuannya, al-Aziz.
Hari-hari yang berat dan keras selalu menghantui isteri al-Aziz. Ia menanti datang suatu peluang untuk kembali melakukan tipu dayanya atas diri Yusuf, sebab apa yang baru terjadi itu justru menambah rasa cinta dan keinginan untuk berhubungan dengan Yusuf, meskipun secara terang-terang ia telah berdusta atas diri Yusuf untuk menghilangkan keraguan suaminya terhadapnya.
Hari demi hari dirasakan oleh isteri al-Aziz dengan berat dan terasa lambat berjalan. Di kota, beberapa peristiwa yang tak terduga telah terjadi. Wanita-wanita di Mesir, ketika itu, tidak ada pembicaraan lain kecuali tentang peristiwa aib antara isteri al-Aziz dan Yusuf. Yang sungguh mengherankan, bagaimana peristiwa itu dapat tersebar di seluruh kota, padahal semua pihak di istana al-Aziz berusaha merahasiakannya.
Dugaan sementara dialamatkan kepada pelayan laki-laki istana dan sebagian pelayan wanita yang masih ada hubungan keluarga dengannya. Besar kemungkinan, merekalah yang membocorkan rahasia itu.
Langit ibu kota Mesir penuh dengan gema kisah sekitar kejadian itu. Dalam setiap kelompok wanita, tidak ada masalah lain yang dibicarakan kecuali tentang isteri al-Aziz dan Yusuf, semuanya dicurahkan tanpa segan lagi. Akhirnya, sampailah berita yang menyakitkan itu ke telinga isteri al-Aziz. Dan tentu saja hal itu menimbulkan kemarahannya yang luar biasa.
Akan tetapi, apa hendak dikata, ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menerima kenyataan itu dengan hati yang semakin pedih. “Betapa perjalanan hidupku menjadi sepotong roti dalam mulut wanita-wanita kota yang dipenuhi cemuhan dan ejekan.” Keluhnya dalam hati, “padahal, di hari-hari kemarin, tak seorangpun dari mereka berani menyebut namaku kecuali dengan segala penghormatan dan kemuliaan”.
Kemudian ketenangan mulai meresap di hati isteri al-Aziz, setelah jiwanya tergoncang karena kemarahan. Mulailah ia berbicara kepada dirinya sendiri:” Aku wanita, dan mereka pun wanita. Harus mereka terima hinaan sebagaimana hinaan yang mereka tujukan kepadaku. Jika mereka memperolok-olokku dengan lidahnya, maka sesungguhnya olok-olokku nanti lebih keras atas diri mereka…” Maka, keluarlah dia dari kamarnya menuju beranda istananya yang menghadap Sungai Nil.
Di tepian sungai itu, ia mulai berfikir, sementara angin lembut menerpa pepohonan bunga yang mengelilingi istana, membuat harum udara di sekitarnya. Isteri al-Aziz mulai merenung; fikirannya berputar ke sana kemari, mengikuti alunan ombak sungai yang tenang.
Tak lama kemudian, wajahnya tampak sedikit berseri, kemudian mulutnya tersenyum. Telah ditemukan satu cara untuk membereskan masalah itu. Ya, mengapa ia tidak menghentikan cemuhan wanita-wanita itu tentang dirinya dan Yusuf dalam suatu pertemuan terbuka? Mengapa ia tidak memanggil wanita-wanita itu untuk duduk bercakap-cakap seperti biasa ia lakukan sebelum ini, lalu ia perintahkan Yusuf keluar (menampakkan diri di hadapan mereka)? Nanti mereka akan sadar dan mengerti mengapa isteri al-Aziz jatuh hati kepada anak angkatnya.
Kemudian dipanggilnya semua wanita itu ke istana untuk bersukaria. Kepada mereka dipersembahkan berbagai macam buah-buahan, dan masing-masing diberi sebilah pisau sebagai alat pemotongnya. Akan dilihat oleh isteri Al-Aziz apa yang nanti bakal terjadi ketika Yusuf muncul secara tiba-tiba di tengah-tengah mereka.
Heranlah kebanyakan wanita bangsawan terhadap panggilan isteri al-Aziz itu. Mereka menyaksikan suasana yang lain dari biasanya. Ruangan istana, ketika itu, dihiasi dengan penuh kemegahan. Wanita-wanita yang hadir duduk di kursi yang indah. Di hadapan mereka masing-masing terdapat sepinggan buah segar dan sebilah pisau pemotongnya.
Semua pandangan hadirin ditujukan kepada barang-barang yang ada dalam ruangan istana itu. Semuanya diam membisu, tak ada yang berani berbicara dengan jelas tentang apa yang tersimpan di dada dan mulailah isteri Aziz membuka acara. Pembicaraan hanya berkisar tentang buah dan masalah-masalah pesta ria itu, sama sekali jauh dari masalah peristiwa dirinya dengan Yusuf. Ia berkata bahwa segala yang disediakannya kali ini dimaksudkan sebagai kejutan bagi wanita-wanita itu.
Di antara wanita-wanita yang hadir dalam jamuan itu, ada salah seorang yang menyindir. Dengan cara yang cerdik, ia berkisah kepada hadirin tentang seorang pemudi yang jatuh cinta, dan mati dalam kesedihan karena laki-laki yang meminangnya tewas di medan perang melawan musuh-musuh negerinya. Tetapi isteri al-Aziz, dengan lebih cerdik, mengalihkan pembicaraan ke masalah-masalah lain.
Kemudian ia berkata kepada Yusuf, “Keluarlah (tampakkanlah dirimu) kepada mereka.”
Maka, keluarlah Yusuf dari tempatnya menuju jamuan wanita-wanita itu. Betapa terkejutnya wanita-wanita itu demi melihat ketampanan Yusuf. Mereka pada tercengang dan keheranan. Dan tanpa disadari, mereka memotong jari-jari mereka sendiri dengan pisau. Mereka mengira sedang memotong buah, padahal tidak dirasakan darah mengalir dari tangan mereka. Lama-kelamaan mereka baru ingat dan menyadari apa yang telah mereka lakukan, kemudian berkata, “Maha Besar Allah. Ini bukanlah manusia. Ia tiada lain adalah malaikat yang mulia”.
Ketika itu wajah isteri al-Aziz menahan sedih dan duka. Berubahlah wajah nan cantik itu menjadi marah. Ia berkata seraya menunjuk kepada Yusuf: “Itulah orang yang menyebabkan aku di cela karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menginginkan dirinya, tetapi ia menolak. Dan (sekarang) jika dia tidak mentaati apa yang kuperintahkan, niscaya ia akan dipenjarakan dan dia akan menjadi orang yang hina”.
Yusuf mendengar apa yang dikatakan oleh isteri Aziz dengan sikap yang tenang dan tabah, di hadapan wanita-wanita kota. Ia pun mendengar keinginan setiap wanita yang hadir, sebagaimana keinginan isteri al-Aziz terhadapnya. Sambil berlindung kepada Allah, Yusuf berkata, “Tuhanku! Penjara lebih kusukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Allah hindarkan aku dari tipu daya mereka, tentulah aku tertarik kepada mereka. Dan tentulah aku termasuk orang yang jahil”. Allah meneguhkan hamba-hamba-Nya yang mukmin serta berlindung dan berpegang dengan kebenaran yang diperintahkan oleh-Nya Maka, Tuhan memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar dan Yang Maha Mengetahui”.
Pulanglah wanita-wanita kota itu dengan tangan mereka berlumuran darah. Mereka semua akhirnya sedar bahwa Zulaiha, isteri al-Aziz, terhalang cintanya kepada Yusuf. Yusuf kemudian meninggalkan ruangan itu dan pergi ke kamarnya. Isteri al-Aziz tampak duduk sambil berfikir. Ia memang menghendaki kehinaan atas wanita-wanita yang menghina dirinya dengan Yusuf, dan hal itu telah selesai ia lakukan. Menanglah ia dengan suatu kemenangan yang dapat menyembuhkan sakit hatinya.
Akan tetapi, setelah ia lebih dalam berfikir, ia sadari bahwa perasaan yang ditanggungnya selama ini adalah suatu sebab yang berat baginya. Ia berbicara dengan dirinya sendiri:”Yusuf telah menghindar dariku dua kali; sekali dikamarnya dan sekali di hadapan wanita-wanita kota. Sesungguhnya wanita-wanita kota itu pun mencintai Yusuf sebagaimana aku, tetapi semuanya tidak memperoleh sesuatu darinya. Ancamanku kepadanya tidak ditakutinya. Celakalah kamu meskipun aku mencintaimu.”
Pergilah isteri al-Aziz menemui suaminya. Al-Aziz kemudian bertanya tentang jamuan yang diadakannya. Isterinya menjelaskan bahwa jamuan itu hanya menambah keburukan baginya.
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Tanya Al-Aziz.
“Jika Yusuf tidak disembunyikan dari seisi istana dan kota, dia akan selalu berbicara tentang apa yang memburukkanku…” Jawabnya.
Maka, mendekatlah al-Aziz kepada isterinya seraya berkata. “Bagaimana engkau bisa rela dengan apa yang memburukkanmu?”
Gemetarlah badan wanita itu, dan kemudian berkata: “Kalau begitu, masukkanlah Yusuf ke dalam penjara, sehingga semua orang akan melupakannya”.
Al-Aziz menyetujui usul isterinya itu. Tak lama kemudian, beberapa pengawal istana membawa Yusuf ke penjara. Tatkala Yusuf keluar dari pintu istana, isteri al-Aziz berdiri di belakang jendela kamarnya sambil memandanginya. Ia merasa seolah-olah sebagian dari hatinya tercabut, meskipun dialah yang mendesak suaminya agar memasukkan Yusuf ke dalam penjara.
Tiap hari berlalu, dan kesedihan selalu mewarnai wajah isteri al-Aziz, sementara suaminya hanya bisa melihat hal itu dengan sikap diam dan tidak kuasa berbuat sesuatu. Wanita itu bertanya kepada dirinya sendiri: “Salahkah aku tatkala menyuruh al-Aziz memasukkan Yusuf ke dalam penjara? Ya, kuharamkan diriku melihat Yusuf… “Sekali lagi ia berfikir dalam kegelisahannya: “Tetapi, apakah aku bersalah dalam urusan itu?” Ia menyanggah dirinya sendiri untuk lepas dari azab, seperti seorang dermawan yang haus,tetapi tidak sanggup menjangkau air yang dipikul di bahunya sendiri.
Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun berjalan tanpa sepi dari cerita isteri al-Aziz dengan Yusuf. Pada suatu hari, datanglah utusan raja, memerintahkannya untuk datang keistana. Isteri al-Aziz sangat heran, sebab hal itu belum terjadi sebelumnya. Ia bertanya kepada suaminya apa kira-kira yang menyebabkan sang raja memanggilnya ke istana.
Al-Aziz menjawab, “Mungkin ada urusan yang berhubungan dengan Yusuf.”
Mendengar nama Yusuf disebut lagi, lenyaplah segala dugaan. Tetapi, benarkah raja hanya berkehendak untuk berbicara dengannya tentang Yusuf?
Dengan penuh pertanyaan di benaknya, pergilah isteri al-Aziz menuju istana raja. Di sana didapatinya wanita-wanita yang telah memotong tangannya beberapa waktu yang lalu, semuanya menghadap Raja Mesir. Sementara itu, sang raja memandangi wajah para wanita itu satu persatu, kemudian mengajukan pertanyaan singkat kepada wanita-wanita itu: “Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?” Mereka menjawab serentak: “Kami tiada mendapati suatu keburukan padanya (Yusuf)”.
Tiba-tiba, tanpa diminta oleh Raja, isteri al-Aziz berbicara. Ia merasa telah tiba saatnya untuk berbicara terus terang perihal itu, agar hilang semua beban dosa karena tindakan aniayanya terhadap Yusuf. Di hadapan Raja, wanita-wanita kota, dan seluruh yang hadir di situ, ia menerangkan: “Sekarang jelaslah kebenaran itu. Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar”. (Yusuf berkata), “Yang demikian itu agar dia (al-Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya dan bahwasanya Allah tidak merestui tipudaya orang-orang yang berkhianat. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
Terjadi perbedaan pendapat tentang kehidupan perempuan itu selanjutnya. Sebagian orang berpendapat bahwa sejak itu isteri al-Aziz hidup bersama kesedihan dan putus asa karena ingatannya kepada Yusuf.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa isteri al-Aziz itu akhirnya pindah ke suatu tempat yang jauh, dan tiada kabar beritanya sama sekali. Yang jelas, kehidupan wanita itu menjadi terganggu, karena cintanya kepada Yusuf.
Namun ada yang mengisahkan setelah peristiwa itu Zulaiha bertaubat kepada Allah SWT. Ketika Yusuf diutus menjadi Rasul dan penguasa menggantikan Al-Aziz, Nabi Yusuf berjumpa dengan Zulaiha yang ketika itu keadaannya sudah tua. Akhirnya Allah menjadikan Zulaiha muda remaja dan berkawin dengan Nabi Yusuf. Maka jadilah Zulaiha sebagai seorang wanita yang solehah yang sentiasa beramal kepada Allah SWT.
***
(Kisah Zulaiha ini dapat di baca dalam Al-Quran surah Yusuf ayat 21-53)

Kuda Sulaiman

Masih ingat peristiwa Nabi Sulaiman dengan sekawanan semut? Dalam peristiwa itu Nabi Sulaiman memanjatkan syukur atas kelebihan yang diberikan kepadanya. Dari seekor semut, Nabi Sulaiman mampu mengambil pelajaran untuk bersyukur kepada Allah.
Kali ini Nabi Sulaiman alaihis salam diuji Allah dengan sebuah kuda. Nabi Sulaiman terpesona dengan kuda-kuda yang tenang di saat sedang berhenti dan sangat cepat kalau sedang berlari. Saking terpesonanya melihat kuda-kuda tersebut, tanpa sadar matahari mulai beranjak meninggalkan siang. Habislah waktu shalat Ashr. Nabi Sulaiman perlahan menyadari bahwa kuda-kuda itu telah menyebabkan dia lalai dari mengingat Allah. Setelah beliau sadar akan kesalahannya. Beliau meminta kuda-kuda itu didatangkan kepadanya dan beliau potong kaki dan leher kuda itu. (QS 38: 31-33)
Banyak penafsiran mengenai kisah ini. Bagi saya, kisah ini memberi kita pelajaran bahwa tak henti-hentinya Allah menguji kita. Kali pertama, mungkin kita diuji dengan kemiskinan; pada kali berikutnya kita diuji dengan kekayaan. Pada satu saat kita diuji dengan sebuah penyakit; di lain kejap kita dicoba dengan kesehatan yang kita miliki. Semut yang melintas didepan kita, sekawanan kuda yang berlari dengan cepat, mobil yang kita miliki (setelah menabung bertahun-tahun), anak yang dititipi Tuhan kepada kita, jabatan yang diamanahkan kepada kita, semuanya merupakan ujian dari Allah.
Pelajaran yang kedua yang bisa kita ambil dari kisah ini adalah ketika Nabi Sulaiman memotong leher dan kaki kuda. Bagi saya, ini bisa kita tafsirkan secara simbolik. Mari kita hilangkan segala sesuatu yang bisa membawa kita ke jalan yang tidak benar atau lalai dari mengingat Allah. Dalam usul al-fiqh ini disebut sadd adz-dzari’ah. Artinya, menutup pintu yang bisa membawa kita jatuh ke dalam perbuatan yang tercela.
Sayangnya, alih-alih menutup pintu itu, kita malah membukanya lebar-lebar. Kita bukannya mencontoh perilaku Nabi Sulaiman yang segera sadar akan kelalaiannya, malah seringkali kita semakin “keasyikan” dengan perbuatan maksiat itu. Ketika orang-orang kecil sedang kelaparan, kita makin asyik dengan korupsi dan kolusi yang kita lakukan. Ketika orang menuntut pemerintahan yang bersih, kita malah keasyikan dengan nepotisme. Ketika rakyat semakin menjerit dengan melambungnya harga-harga, kita naikkan lagi harga BBM dan listrik.
Sayang, kita tidak mau belajar dari kisah Nabi Sulaiman….

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google
GS99. Diberdayakan oleh Blogger.
free counters
Ping your blog, website, or RSS feed for Free

backlink