Tampilkan postingan dengan label Islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islami. Tampilkan semua postingan
Jumat, 20 April 2012

Di Mana Allah


Alkisah, ada seorang pemuda yang bekerja sebagai penggembala domba. Jumlah domba yang dia gembalai berjumlah ratusan ekor. Bertahun-tahun dia bekerja tanpa pernah mengeluh meski hasil jerih payahnya tak seberapa.
Suatu ketika, datang seorang musafir yang sangat kehausan setelah menempuh perjalanan jauh. Melihat ada pengembala domba tersebut, gembiralah hati musafir itu. Sang musafir meminta minum kepada si pemuda penggembala tersebut. Namun, pemuda itu menjawab bahwa dirinya tak punya air minum untuk diberikan kepada si musafir.
Musafir tersebut kemudian memohon memelas agar diizinkan mengambil air susu dari seekor domba yang digembalakan si pemuda itu. Pemuda tersebut menolak dengan halus. “Ayolah, saudaraku. Tolonglah aku. Aku sangat haus. Izinkan aku untuk memerah dombamu sekadar beberapa teguk untuk menghilangkan dahagaku,” ujar sang musafir. Pemuda itu menjawab, “Domba-domba ini bukan kepunyaanku, aku tak berani mengizinkan engkau sebelum majikanku mengizinkannya.”
Pemuda mengatakan, “Kalau kau mau, tunggulah di sini sebentar. Kucarikan telaga dan kuambilkan air untukmu, saudaraku.” Kemudian, pergilah pemuda tersebut mencarikan air untuk sang musafir. Setelah dapat, diberikannya air itu kepada si musafir. “Alhamdulillah, segar sekali rasanya,” kata sang musafir. “Terima kasih wahai anak muda,” lanjut musafir itu.
Kemudian, mereka sejenak beristirahat sambil berbagi kisah. Siang semakin terik. “Mengapa kau tadi tidak ikut minum,” tanya musafir kepada pemuda tadi. “Maaf, saya sedang berpuasa,” jawab si pemuda. Musafir itu tercengang mendengar pengakuan pemuda tersebut. “Matahari semakin tinggi, sedangkan engkau berpuasa?” tanya musafir itu penuh tanya. Pemuda itu menjawab, “Aku berharap kelak mudah-mudahan Allah menaungi diriku pada saat hari kiamat nanti. Karena itu, aku berpuasa.”
Rasa kagum dan penasaran membuat si musafir ingin mengetes keimanan sang pemuda penggembala tersebut. Lalu, musafir itu berkata, “Hai anak muda, bolehkah aku membeli seekor saja dombamu. Aku lapar, tolonglah aku.”
“Maaf tuan, aku tidak berani sebelum mendapat izin dari majikanku,” kata pemuda itu.
“Ayolah anak muda. Domba yang kau gembalakan sangat banyak. Tentulah tuanmu tidak akan mengetahui meski kau jual seekor saja. Perutku sangat lapar, tolonglah aku,” rayu musafir tersebut.
“Aku sungguh ingin menolongmu. Kalau saja aku memiliki makanan, tentu akan kuberikan untukmu, tuan. Tapi, tolong jangan paksa aku untuk melakukan hal yang tak mungkin aku lakukan tuan,” ucap pemuda tersebut.
“Tidak akan ada yang tahu hai anak muda. Kuberikan seribu dirham untukmu untuk seekor domba saja. Ayolah. Tidakkah kau kasihan kepadaku?” kata musafir itu yakin bahwa pemuda tersebut akan goyah dengan suap seribu dirham.
Musafir itu terus memaksa si pemuda untuk menjual seekor dombanya. Bahkan, musafir itu tambah gusar dan marah.
Akhirnya, pemuda itu berkata, “Majikanku bisa saja tidak tahu jikalau aku menjual seekor dombanya. Sebab, jumlahnya sangat banyak. Dan mungkin saja, majikanku tidak akan menanyakan domba-dombanya. Dia tidak akan rugi meski aku menjual seekor di antara domba kepunyaanya. Tapi, kalau aku berbuat begitu, lalu di mana Allah? Di mana Allah? Di mana Allah? Sungguh, aku tak mau di dalam dagingku tumbuh duri neraka karena uang yang tidak halal bagiku.”
Pemuda itu menangis karena takut tergoda berbuat sesuatu yang dimurkai Allah. Dia menangis karena kecintaanya kepada Allah.
Musafir tersebut tertegun. “Allahu akbar!!” musafir itu ikut menangis.
“Katakan padaku wahai anak muda, di mana majikanmu tinggal. Aku ingin membeli seekor dombanya,” kata musafir tersebut.
Setelah mendapat jawaban tentang tempat tinggal majikan pemuda tadi, musafir itu memberikan uang seribu dirham tadi kepada si pemuda. “Terimalah uang ini untukmu, anakku. Ini uang halal. Kau pantas mendapatkan lebih daripada ini. Hatimu begitu mulia.” Sang musafir yang tak lain adalah Khalifah Umar bin Khattab bergegas menuju ke rumah majikan sang pemuda tadi. Lalu, ditebuslah pemuda itu dengan memerdekakannya dari status hamba sahaya.
Dalam lanjutan perjalanannya, Umar masih takjub dengan kisah yang baru dia alami.
Di mana Allah? Inilah kalimat yang menggetarkan hati Umar. Rasa takut kepada Allah tidak menggoyahkan iman seorang pemuda tadi meski dirayu dengan materi. Duniawi tidak mampu menyilaukan hati pemuda itu karena keteguhan iman yang hakiki.

Asma binti Abu Bakar


Asma binti Abu Bakar, turut dikenali sebagai wanita besi yang berumur panjang. Nama wanita ini pendek sahaja, tetapi, perjalanan hidupnya tidak pendek seperti namanya. Allah memberinya umur panjang dan kecerdasan berfikir, hingga dia dapat mewarnai perjalanan hidup generasi tabiin (pengikut Rasulullah) dengan perjalanan kehidupan pada zaman Rasulullah. Asma’, termasuk kelompok wanita yang pertama masuk Islam. Permulaan Asma’ tidak boleh dipisahkan dengan peristiwa hijrah Rasulullah dan ayahnya Abu Bakar.
Dialah yang mengirimkan bekalan makanan dan minuman kepada mereka. Lantaran peristiwa inilah, Asma’ digelar sebagai “dzatun nithaqain” yang membawa maksud wanita yang mempunyai dua ikat pinggang.
Gelaran ini diberikan ketika Asma’ hendak mengikat karung makanan dan tempat minuman yang akan dikirim kepada Rasulullah dan Abu Bakar. Pada waktu itu, Asma’ tidak memiliki tali untuk mengikatnya, maka dia memotong ikat pinggangnya menjadi dua,satu untuk mengikat karung makanan dan satu lagi untuk mengikat tempat air minum. Ketika Rasulullah mengetahui hal ini, baginda berdoa semoga Allah akan menggantikan ikat piinggang Asma’ dengan dua ikat pinggang yang lebih baik dan indah di syurga.
Asma’ berkahwin dengan Zubir bin Awwam, seorang pemuda dari golongan biasa yang tidak memiliki harta, kecuali seekor kuda. Namun demikian, Asma’ tidak kecewa. Dia tetap setia melayan suaminya. Sekiranya suaminya sibuk menyebarkan tugas daripada Rasulullah, Asma’ tidak segan merawat dan menumbuk biji kurma untuk makanan kuda suaminya. Hasil perkahwinannya, Allah menganugerahi mereka seorang anak yang cerdas yang diberi nama Abdullah bin Zubir.
Asma’ memiliki beberapa sifat istimewa. Selain cantik, dia mempunyai sifat yang hampir sama dengan dengan saudaranya Aisyah, cerdas, pantas dan lincah. Sifatnya yang pemurah menjadi teladan kepada ramai orang. Waktu terus berlalu, anaknya Abdullah bin Zubir diangkat menjadi Khalifah menggantikan Yazid bin Mu’awwiyah yang wafat. Bani Umaiyah tidak rela dengan kepemimpinan Abdullah bin Zubir. Mereka menyiapkan tentera yang besar dalam pimpinan Panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi untuk menggulingkan Khalifah Abdullah bin Zubir. Perang di antara dua kekuatan itu tidak dapat dihindari.Lalu, Abdullah bin Zubir turun ke medan perang untuk memimpin pasukannya.
Tetapi, tenteranya belot dan pergi kepada pihak Bani Umaiyah.Akhirnya, dengan jumlah tentera yang sedikit, pasukan Abdullah binZubir undur ke Baitul Laham, bersembunyi di bawah Kaabah. Beberapa saatsebelum kekalahannya, Abdullah bin Zubir menemui ibunya. Ibunya bertanya,”Mengapa engkau datang ke sini, padahal batu besaryang dilontarkan pasukan Hajjaj kepada pasukanmu menggetarkan seluruhkota Makkah? “Aku datang hendak meminta nasihat daripada ibu,” jawab Abdullah dengan rasa hormat. “Mengenai apa?” tanya Asma’ lagi. “Tentera aku banyak yang belot.Mungkin kerana takut kepada Hajjaj atau mungkin juga merekamenginginkan sesuatu yang dijanjikan.
Tentera yang ada sekarangnampaknya tidak akan sabar bertahan lebih lama bersama aku. “Sementara itu, utusan Bani Umaiyah menawarkan kepadaku apa sajayang aku minta berupa kemewahan dunia, asal aku bersedia meletakkansenjata dan bersumpah setia mengangkat Abdul Malik bin Marwan sebagaiKhalifah. Bagaimana pendapat ibu?”tanya Abdullah. Asma’ menjawab dengansuara tinggi,”Terserah engkau, wahai Abdullah! Bukankah engkau sendiriyang lebih tahu tentang dirimu. ”Apabila engkau yakin dalam kebenaran, maka teguhkan hatimu sepertitentera engkau yang gugur.
Tetapi apabila engkau menginginkan kemewahan dunia, tentu engkau seorang lelaki yang pengecut. Bererti engkau mencelakakan diri sendiri, menjual murah sebuah kepahlawanan.”
Abdullah bin Zubir, menundukkan kepala di depan ibunya yang kecewa. Ibunya, walaupun tua dan buta, namun Abdullah seorang khalifah dan panglima yang gagah berani tidak sanggup melihat wajah ibunya kerana rasa hormat dan kasih kepadanya. “Tetapi aku akan terbunuh hari ini, ibu,”kata Abdullah lembut. “Itu lebih baik bagimu, daripada engkau menyerahkan diri kepadaHajjaj.
Akhirnya kepala kamu akan dipijak-pijak oleh Bani Umaiyah dengan memberikan janji mereka yang sukar untuk dipercayai,”kata ibunya tegas. “Aku tidak takut mati, ibu! Tetapi aku khuatir mereka akan mencincang dan merobek-robek jenazah aku dengan kejam,” ujar Abdullah lagi. “Tidak ada apa yang perlu ditakuti dengan perbuatan orang hidup terhadap orang mati. Bukankah kambing yang disembelih tidak merasa sakit lagi ketika disiat?” jawab Asma’. “Yang ibu khuatir kalau engkau mati di jalan yang sesat,” sambung Asma’ lagi. “Percayalah ibu, aku tidak memiliki fikiran sesat untuk melakukan perbuatan keji. Aku tidak akan melanggar hukum Allah. Aku bukan pengecut dan aku lebih mengutamakan keredhaan Allah dan keredhaan ibu,” ucap Abdullah bersemangat.
Nasihat Asma’ memberi semangat kepada Abdullah untuk mempertahankan dan membela kebenaran. Sebelum matahari terbenam, Abdullah mati syahid menemui Allah.

Salam Terindah Untukmu, Ya Rasulullah


Suatu subuh, saat terbangun dari tidurnya, Aisyah ra tidak mendapati suaminya, Rasulullah SAW. Aisyah ra panik dan bingung. Ketika membuka pintu rumahnya, dia kaget mendapati Rasulullah tidur di depan pintu. Aisyah lalu bertanya, “Kenapa engkau tidur di luar suamiku?” Rasulullah SAW lantas menjawab, “Semalam aku pulang telah larut. Aku takut mengganggu tidurmu. Sehingga, aku tidur di sini.”
Sederhana, namun penghormatan Rasullah SAW kepada istrinya tersebut menyimpan makna mendalam bagaimana seharusnya suami memperlakukan istrinya. Selain aktivitasnya dalam berdakwah, Rasulullah SAW tidak mengabaikan keluarganya. Nabi pun membantu istrinya membersihkan rumah, memerah susu unta, dan mengasuh cucunya, yakni Hasan dan Husen.
Pernah, Rasulullah dilempari kotoran oleh orang-orang Quraisy, bahkan dilempari batu hingga wajahnya berdarah. Namun, Nabi menghadapi perlakuan itu dengan mendoakan mereka. Nabi berdoa, “Ya Allah, ampunilah mereka. Mereka berbuat seperti itu karena tidak tahu.” Siksaan dan teror yang menjadi-jadi tidak membuat semangat Nabi SAW dalam berdakwah surut. Bahkan, Umar bin Khattab yang sangat ditakuti oleh Suku Quraisy pun menawarkan diri untuk membunuh orang-orang yang mengganggu Nabi, tapi Nabi melarangnya. Cinta Nabi SAW tidak memandang kepada siapa cinta itu diberikan. Tak peduli kepada orang yang telah menyakiti beliau sekalipun. Subhanallah.
Perut Nabi SAW yang kurus dan dibebat kain berisi batu adalah hal yang membuat miris para sahabat pada saat-saat menjelang Nabi SW wafat. Betapa tidak, jika Rasulullah SAW mau, harta, kedudukan, uang, dan makanan paling lezat pun siap tersaji untuknya. Namun, Rasulullah pun menolak kenikmatan itu semua. Rasulullah SAW tidak mau dilebihkan hanya karena dia seorang pemimpin. Mencintai kaum fakir miskin, dekat dengan anak-anak yatim, sopan dalam berhadapan dengan siapa saja, dan santun segala tindak tanduknya menjadikan Nabi SAW sebagai pemimpin yang disegani oleh siapa pun.
Kini, telah ratusan abad Rasulullah SAW meninggalkan umatnya, umat akhir zaman. Namun, kelembutan dan cinta Nabi SAW kepada umatnya tetap menjadi sejarah yang tak akan bisa lekang ditelan zaman sampai kiamat datang. Dia mewariskan kepribadian agung serta dua titipan untuk dijadikan pedoman hidup, yakni Alquran dan sunahnya.
Angin berembus tenang menyapu padang pasir yang mahaluas. Bila malam tiba, cahaya bintang mengangguk ramah ditemani rembulan yang memancar keindahan akhlak Nabi SAW. Menabur cinta sepanjang masa. Alam berzikir. Dan menitipkan salam paling mesra kepada Rasulullah SAW. Jatuhan tetes air mata tak mudah terbendung mengenang perjuangan dan pengorbanannya. “Kami merindukanmu, yaa Rasulullah..”
Allahumma salli ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa sahbihi wasallim.

ANAK DURHAKA

Setiap anak wajib berbakti kepada ibu bapak, lebih-lebih lagi bagi orang Islam yang sangat dituntut untuk berbuat baik terhadap orang tuanya.
Ini sebagaimana ditegaskan pada ayat 36, dari surah an-Nisa yang artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada orang tua (ibu bapak)”
Penegasan ini disusuli dengan sabda Rasulullah s.a.w sebagaimana dinyatakan oleh at-Tabrani, artinya: “Berbaktilah kamu kepada dua ibu bapak kamu agar anak-anakmu kelak akan berbakti kepadamu. Dan peliharalah dirimu daripada perzinaan agar isteri-isterimu memelihara diri nya.”
Berbakti kepada ibu bapak adalah wajib karena ia hukum Allah. Anak yang enggan berbakti kepada dua ibu bapanya dianggap anak derhaka dan perbuatan derhaka adalah dosa besar.
Derhaka kepada ibu bapak termasuk dalam empat dosa besar. Keadaan ini jelas berdasarkan kata-kata nabi yang dinyatakan Bukhari: “Sebesar-besar (daripada) dosa besar adalah me nyekutukan Allah, membunuh manusia, derhaka kepada ibu bapak dan menjadi saksi palsu.”
Perintah Islam supaya anak berbuat baik kepada ibu bapak adalah perintah yang wajar. Baru saja tiga bulan hamil, si ibu menghadapi pelbagai keperitan. Badan selalu letih, kepala pening dan selalu loya.
Apabila kandungan semakin besar, hatinya diganggu was-was, khuatir dan penuh persoalan. Apa akan terjadi kepada anak yang bakal dilahirkan? Apakah laki-laki atau perempuan? Apakah sempurna anggotanya badannya?
Tiba detik melahirkannya, perasaan ibu bertambah gelisah. Khawatir keselamatan diri dan anak sentiasa menghantui fikiran. Tetapi segala kerisauan, kebimbangan dan kesakitan terobati ketika mendengar tangisan bayi yang dilahirkan.
Dimulai ari anak yang sebesar telapak tangan itu, ibu bapak tidak pernah mengeluh membesarkan anaknya dengan kasih sayang tidak terbagi. Makan, minum, pakaian, pendidikan dan segala keperluan dipenuhi, sehingga anak kecil tadi menjadi seorang kanak-kanak, remaja dan dewasa sebanding dengan ibu bapaknya.
Jasa ibu bapaklah menjadikan si anak mengenal dan mengecap nikmat dunia, dapat menggali khazanah dunia serta mendalami ilmu lain. Justru, sudah selayaknya ibu bapak dimuliakan, dibaluti dengan kasih sayang sebagaimana mereka mencurahkan kasih kepada anaknya yang kecil dulu.
Anak yang enggan berbakti kepada ibu bapak adalah anak durhaka, yang menerima balasan buruk. Ini sebagaimana dapat dipahami dari hadis yang diceritakan Tabrani: “Dua (kejahatan) yang akan dibalas oleh Allah di dunia ini adalah zina dan derhaka kepada dua ibu bapa.”
Ada banyak contoh yang memberi pelajaran betapa azab yang ditanggung anak durhaka di dunia. Siksa ini datang dalam bentuk penderitaan, baik rohani atau jasmani, sukar mencari nafkah, gagal mendapatkan pekerjaan dan tiada ketenteraman dalam kehidupan.
Kisah Wail bin Khattab pada zaman Nabi Muhammad s.a.w, satu peristiwa yang dapat dijadikan teladan. Disebabkan terlalu mencintakan isteri, Wail selalu mencaci ibunya, mempercayai segala yang dilaporkan isterinya berkaitan ibunya.
Waktu Wail menghadapi kematian, dia mengalami penderitaan sakit yang tidak terhingga. Dia sekarat hingga keluar keringat dingin membasahi seluruh badan. Mati tidak, sembuh pun tidak ada harapan.
Selama berpuluh hari dia berada dalam keadaan demikian. Matanya merah menyala, mulutnya terbuka lebar tetapi kerongkongnya tersumbat sehingga tidak terdengar jeritan, manakala kaki dan tangannya kaku.
Sahabat menunggu kematiannya, namun tidak tiba. Mereka berasa terharu melihat penderitaan yang dihadapi Wail. Mereka bersilih ganti mengajarkan Wail mengucap kalimah syahadah, namun semuanya buntu.
Wail mencoba segala upaya mengucap dua kalimah syahadah tetapi yang kedengaran dari mulutnya hanya perkataan “oh, oh, oh, oh”. Keadaan semakin mengerikan.
Akhirnya seorang sahabat Ali bin Abi Talib menemui Nabi dan menceritakan keadaan Wail. Nabi Muhammad meminta Ibunda Wail dijemput menemui beliau. Nabi ingin mengetahui bagaimana keadaan dan perlakuan Wail terhadap ibunya sebelum sakit.
Ketika ditanya, ibu Wail menyatakan anaknya sentiasa mencaci lantaran hasutan isterinya. Dia percaya dan mengikut apa saja yang dilaporkan isterinya tanpa usul periksa. Ini menyebabkan ibunya berasa sakit hati kepadanya.
Nabi Muhammad s.a.w memujuk Ibunda Wail supaya segera mengampuni dosa anaknya yang durhaka. Tetapi perempuan itu berkeras tidak mau memenuhinya. Dia berkata, air matanya belum kering lantaran perbuatan Wail yang menyakitkan hatinya.
Melihat keadaan itu, Nabi termenung seketika. Kemudian, baginda memerintahkan sahabat mengumpul kayu api. Wail akan dibakar hidup-hidup.
Nabi Muhammad menyatakan, jika ibu Wail tidak mau memaafkan dosa anaknya, Wail akan menderita menghadapi maut dalam jangka masa yang tidak pasti.
Mendengar kata-kata Nabi itu, ibu Wail segera berkata: “Wahai Rasulullah, jangan dibakar dia. Wail anakku. Aku telah ampuni dia. Kesalahannya aku telah maafkan.”
Menurut sahabat, setelah Wail diampuni Ibundanya, wajahnya langsung berubah. Akhirnya dia dapat mengucap syahadah dan menghembuskan nafas terakhir.

Kisah-kisah di Balik Keajaiban Shalat Hajat


Mereka yang mendapatkan keajaiban Shalat Hajat
A. Menghidupkan Keledai yang Mati
Diriwayatkan dari Abu Sirah an-Nakh’iy, dia berkata, “Seorang laki-laki menempuh perjalanan dari Yaman. Di tengah perjalan keledainya mati, lalu dia mengambil wudhu kemudian shalat dua rakaat, setelah itu berdoa. Dia mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya saya datang dari negeri yang sangat jauh guna berjuang di jalan-Mu dan mencari ridha-Mu. Saya bersaksi bahwasanya Engkau menghidupkan makhluk yang mati dan membangkitkan manusia dari kuburnya, janganlah Engkau jadikan saya berhutang budi terhadap seseorang pada hari ini. Pada hari ini saya memohon kepada Engkau supaya membangkitkan keledaiku yang telah mati ini.” Maka, keledai itu bangun seketika, lalu mengibaskan kedua telinganya.” (HR Baihaqi; ia mengatakan, sanad cerita ini shahih)
B. Tercapainya Seluruh Hajat
Di dalam kitab Hasyiyatu Ibnu ‘Aabidiin, disebutkan bahwa di dalam shalat hajat, pada rakaat pertama dibaca surah Al-Fatihah dan ayat Kursi tiga kali kemudian pada tiga rakaat sisanya dibaca surah Al-Fatihan dan Al-Ikhlash, Al-Falak, dan An-Nas satu kali. Maka itu sebanding dengan Lailatul Qadr . Guru-gurunya melaksanakan shalat ini, dan tercapai seluruh hajatnya.
C. Dikabulkan Permintaannya Oleh Khalifah Utsman bin Afan
Dalam kitab Mu’jamu ash-Shoghir wal Kabiir, Imam Thabrani menceritakan:
Ada seorang laki-laki memiliki kebutuhan (hajat), kemudian ia memintanya kepada Amirulmukminin Utsman bin Afan, tetapi Utsam bin Afan tidak memberikan apa yang dimintanya. Kemudian ia bertemu seseorang, yaitu Utsman bin Hunaif. Lalu ia mengadukan permasalannya kepadanya. Akhirnya, Utsman bin Hunaif menyuruhnya untuk melaksanakan shalat hajat, sebagaimana yang telah diajarkan –tata caranya– dalam hadits. Kemudian, ia pun mengerjakannya. Setelah itu, ia pun datang kembali menemui Utsam bin Afan. Tidak disangka, Utsam bin Afan memuliakannya dan mengabulkan permintaan laki-laki tersebut. Dengan kejadian itu, ia pun menemui Utman bin Hunaif (yang telah mengajarkannya shalat hajat) dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
D. Ditolong Oleh Gubernur Thulun –Mesir–
Abu Al-Hasan As-Shaffar Al-Faqih berkata dan menceritakan,
Suatu ketika, kami bersama Al-Hasan bin Sufyan An-Naswi. Banyak orang-orang terhormat yang mengunjunginya dari berbagai negeri yang jauh untuk mengikuti majelis taklimnya, guna menuntut ilmu dan mencatat riwayat hadits.
Suatu hari, ia pergi menuju majelisnya, tempat ia menyampaikan riwayat-riwayat hadis, lalu ia berkata, “Dengarkanlah apa yang akan aku sampaikan kepada kalian sebelum kita memulai pelajaran. Kami memaklumi bahwa kalian adalah sekelompok orang yang diberikan banyak kenikmatan dan termasuk orang-orang yang terpandang. Kalian tinggalkan negeri kalian, berpisah dari kampung halaman dan teman-teman, hanya demi menuntut ilmu dan mencatat riwayat hadits. Kalian tidak menyadari bahwa kalian telah menempuh semua kesulitan ini demi ilmu, atau telah menanggung apa yang telah kalian tanggung, yaitu berupa kesusahan dan kelelahan yang menjadi salah satu konsekuensinya. Sesungguhnya aku ingin menceritakan kepada kalian sebagian kesulitan yang aku alami di dalam menuntut ilmu, serta bagaimana Allah SWT memberikan jalan keluar untukku dan para sahabatku –dengan keberkahan ilmu dan kemurnian aqidah– dari segala kesempitan dan kesulitan. Ketahuilah, sejak muda aku telah meninggalkan kampung halaman untuk menuntut ilmu dan mencatat riwayat hadits.
Takdir membawaku sampai ke Maroko, kemudian menuju Mesir, bersama tujuh orang sahabatku sesama penuntut ilmu dan pendengar hadits. Kami lalu berguru kepada seorang guru, ulama yang paling menonjol pada waktu itu. Paling banyak meriwayatkan hadits, paling mengetahui sanad-sanadnya, dan paling otentik periwayatan hadisnya. Ia menjelaskan hadis setiap hari sedikit demi sedikit, sehingga memakan waktu yang cukup lama. Akibatnya, kami menjadi kehabisan bekal. Kondisinya sampai memaksa kami untuk menjual barang-barang yang kami bawa, berupa baju dan celana. Akhirnya, tidak ada lagi milik kami yang tersisa untuk memperoleh biaya makan satu hari pun.
Tiga hari tiga malam kami lalui tanpa dapat mencicipi sesuatu apa pun. Sampai pada suatu pagi di hari keempat, tak satu pun di antara kami yang dapat bergerak karena kelaparan. Kondisinya memaksa kami harus menahan rasa malu dan mengorbankan muka kami untuk meminta-minta, padahal diri kami menolak dan hati kami merasa keberatan.
Setiap orang dari kami menolak melakukan hal itu, namun situasi dan kondisinya benar-benar memaksa untuk meminta-minta. Akhirnya, semuanya sepakat untuk menuliskan nama-nama kami di atas sebuah kain dan meletakkannya di atas air, barangsiapa yang namanya muncul ke permukaan, maka ia yang harus pergi meminta dan mencari makanan untuk dirinya serta sahabat-sahabatnya.
Kain yang tertulis dengan namaku kemudian muncul ke permukaan. Aku bingung dan terkejut, dalam hatiku menolak untuk meminta-minta dan menanggung hina. Lalu, aku bergegas pergi ke satu sudut masjid untuk melakukan shalat dua rakaat dalam waktu cukup lama. Berdoa kepada Allah SWT dengan nama-nama-Nya yang Mahaagung dan kalimat-kalimat-Nya yang Mahamulia, agar menghilangkan kesusahan ini dan memberikan jalan keluarnya.
Belum selesai aku melakukan shalat, seorang pemuda tampan tiba-tiba masuk ke dalam masjid dengan pakaian bersih dan bau yang wangi, diikuti oleh seorang pengawal yang memegang sebuah sapu tangan.
Ia bertanya, “Siapa di antara kalian yang bernama Al-Hasan bin Sufyan?”
Aku mengangkat kepalaku dari sujudku, lalu menjawab, “Aku Al-Hasan bin Sufyan, apa yang Anda inginkan?”
Ia menjawab, “Sesungguhnya sahabatku, Gubernur Ibnu Thulun menyampaikan salam hormat dan permohonan maafnya atas kelalaiannya di dalam memberikan perhatian mengenai kondisi kalian, juga atas kelalaian yang terjadi di dalam memenuhi hak-hak kalian. Ia mengirimkan sejumlah bekal untuk hari ini. Sedangkan besok, ia sendiri yang akan mengunjungi kalian untuk meminta maaf secara langsung.”
Pemuda tersebut memberikan di tanganku masing-masing sebuah pundi berisi uang seratus dinar. Aku heran dan kebingungan.
Maka, aku berkata kepada pemuda tersebut, “Ada kisah apakah dibalik ini semua?”
Ia berkata, “Aku adalah salah seorang pelayan khusus Gubernur Ibnu Thulun.
Pagi tadi, aku menemuinya bersama sejumlah sahabat yang lain, lalu gubernur mengatakan kepadaku, “Hari ini aku ingin menyendiri, maka pulanglah kalian ke rumah masing-masing!”
Aku pun pulang bersama yang lainnya. Sesampainya di rumah, belum sempat aku duduk, seorang utusan gubernur mendatangiku dengan tergesa-gesa, memintaku untuk kembali. Aku segera memenuhi panggilannya dan mendapatkan gubernur sedang berada sendirian di rumahnya. Ia meletakkan tangan kanannya di atas pinggangnya, menahan rasa sakit yang teramat sangat di dalam perutnya.
Ia berkata kepadaku, “Apakah engkau mengenal Al-Hasan bin Sufyan dan sahabat-sahabatnya?”
Aku menjawab, “Tidak.”
Ia berkata lagi, “Pergilah ke sektor fulan dan masjid fulan, bawalah pundi-pundi ini dan serahkan kepadanya dan para sahabatnya. Sudah tiga hari mereka kelaparan dengan kondisi yang mengenaskan. Sampaikan permintaan maafku, dan katakan bahwa besok pagi aku akan mengunjungi mereka untuk meminta maaf secara langsung.”
Pemuda itu berkata, “Aku menanyakan tentang sebab yang membuatnya berbuat demikian, maka ia berkata, ‘Ketika aku masuk ke dalam rumah ini sendiri untuk beristirahat sesaat, aku tertidur dan bermimpi melihat seorang penunggang kuda sedang berlari di angkasa dengan begitu stabilnya –seperti layaknya berlari di atas hamparan bumi– sambil memegang sebilah tombak. Aku melihatnya sambil tercengang hingga ia turun di depan pintu rumah ini, lalu meletakkan tombaknya di atas pinggangku, dan berkata, ‘Bangun, dan temuilah Al-Hasan bin Sufyan dan para sahabatnya.’ Bangun, dan temuilah mereka, sesungguhnya mereka kelaparan sejak tiga hari yang lalu di masjid fulan!’
Aku bertanya, ‘Siapakah engkau?” Ia menjawab, ‘Aku Ridhwan, penjaga pintu surga.’ Semenjak ia meletakkan ujung tombaknya di pinggangku, aku merasakan sakit yang teramat sangat, membuatku tidak dapat bergerak. Maka, segeralah engkau sampaikan uang ini kepada mereka, agar rasa sakit ini menghilang dariku.”
Al-Hasan berkata, “Kami tercengang mendengar kisah tersebut, bersyukur kepada Allah SWT dan dapat memperbaiki kembali kondisi kami. Namun, diri kami merasa tidak nyaman lagi untuk menetap di tempat itu. Agar kami tidak dikunjungi oleh gubernur dan rahasia kami diketahui oleh orang lain, sehingga menyembabkan melambungnya reputasi dan kedudukan kami, dan semua itu akan menimbulkan sifat riya’. Maka, malam itu juga kami meninggalkan Mesir. Dan, ternyata setiap orang dari kami menjadi seorang tokoh ulama dan terpandang di zamannya.
Keesokan paginya, Gubernur Ibnu Thulun datang ke tempat itu untuk mengunjungi kami, lalu dikabarkan kepadanya mengenai kepergian kami. Kemudian, ia memerintahkan untuk membeli pertokoan/pasar seluruhya dan mewakafkannya untuk kepentingan masjid dan para perantau, orang-orang penting, dan para penuntut ilmu sebagai bekal mereka, agar kebutuhan mereka tidak lagi terabaikan dan tidak mengalami seperti yang kami alami. Semua itu disebabkan oleh kekuatan agama, kebersihan aqidah dan Allah SWT Maha Pemberi Taufiq.”

Tangis ‘Aisyah RHA Saat Peristiwa Haditsul Ifki (Kabar Burung)

Al-Qasim menuturkan, “Jika aku pergi, maka aku mampir terlebih dahulu ke rumah Aisyah untuk mengucapkan salam kepadanya. Suatu hari aku pergi, ternyata ia berdiri dalam keadaan bertasbih dan membaca firman Allah SWT, ‘Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka.’ (Ath-Thur: 27).
Ia berdoa dan menangis seraya mengulang-ulang ayat tersebut, sehingga aku jemu berdiri, lalu aku pergi ke pasar untuk keperluanku. Kemudian aku kembali, ternyata ia masih berdiri seperti sediakala dalam keadaan shalat dan menangis.”
Itulah Aisyah Ummul Mukminin RHA yang dizhalimi orang-orang muslim menurut zhahirnya, padahal mereka sebenarnya adalah kaum munafik, dalam peristiwa berita dusta yang nyaris menghancurkan rumah tangga Nabi SAW dalam peristiwa yang menyakitkan dari pihak kaum munafik dan kaum yang berakhlak buruk yang tidak memperhatikan bahwa dia adalah istri Nabi SAW dan bahwa dia dizhalimi, padahal dia lebih suci daripada mereka. Tetapi ini adalah fitnah yang sepanjang zaman selalu menampakkan bisa dan kuman yang ingin mencemari orang-orang bersih dan orang-orang baik secara zhalim dan dusta. Tetapi orang yang dizhalimi tidak bisa berbuat apa-apa selain menuju dan bersandar ke haribaan Allah SWT. Berapa banyak kita mendengar manusia hina memfitnah orang-orang baik dengan tuduhan dusta padahal mereka terbebas dari semua tuduhan tersebut, kecuali karena mereka kaum yang shalih, mendapatkan taufik dan meraih kesuksesan. Manusia yang hina, mereka sebenarnya bukanlah manusia, tetapi setan pengecut yang dengki dan hasad terhadap setiap orang yang diberi taufik oleh Allah SWT. Orang-orang yang mengigau ini tidak mempunyai senjata kecuali memberitakan melalui berbagai surat kabar kaum sekuler yang hina seperti mereka. Mereka lupa bahwa Allah SWT Memberikan balasan lagi Mahaperkasa, Dia menangguhkan dan bukan membiarkan. Mahabenar Allah, ketika berfirman, “Dan sesungguhnya telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan.” (Thaha: 61).
Dusta adalah senjata kaum pengecut, kaum munafik, dan manusia yang hina. Karena itu, Aisyah SAW menangis siang malam, karena masalahnya sungguh menyakitkan, mengapa orang yang tidak bersalah dan tidak pernah menyakiti siapa pun dituduh.
Lebih terkutuk dari kezhaliman ini adalah menuduh berzina wanita yang baik-baik lagi beriman. Kemudian datang pembebasan terhadap Ummul Mukminin Aisyah SAW dari atas tujuh langit di dalam al-Qur’an yang akan selalu dibaca hingga Hari Kiamat, sehingga setiap munafik lagi pendusta terdiam. Demikianlah Ummul Mu’minin terbebas dari berita dusta yang ditebarkan oleh kaum munafik yang tidak menginginkan kebaikan tetapi menginginkan fitnah. Bagi Merekalah hukuman di dunia dan akhirat, serta mereka diancam al-Qur’an dengan adzab yang pedih. Mahabenar Allah SWT, ketika berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagimu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya adzab yang besar.”(An-Nur: 11)
Demikianlah air mata Ummul Mukminin Aisyah RHA tumpah demi mengharapkan pahala dan berlindung kepada Dzat yang tiada tempat berlindung kecuali kepadaNya sehingga dia mendapatkan pembebasan dari Allah SWT.

CATATAN:
as-Samth ats-Tsamin fi Manaqib Ummahat al-Mu’minin, Abu al-Abbas Ahmad ath-Thabari, hal. 90

Berbulan Madu dengan Bidadari…

Pada zaman Rasulullah SAW hiduplah seorang pemuda yang bernama Zahid yang berumur 35 tahun namun belum juga menikah. Dia tinggal di Suffah masjid Madinah. Ketika sedang memperkilat pedangnya tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan mengucapkan salam. Zahid kaget dan menjawabnya agak gugup.
“Wahai saudaraku Zahid….selama ini engkau sendiri saja,” Rasulullah SAW menyapa.
“Allah bersamaku ya Rasulullah,” kata Zahid.
“Maksudku kenapa engkau selama ini engkau membujang saja, apakah engkau tidak ingin menikah…,” kata Rasulullah SAW.
Zahid menjawab, “Ya Rasulullah, aku ini seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan wajahku jelek, siapa yang mau denganku ya Rasulullah?”
” Asal engkau mau, itu urusan yang mudah!” kata Rasulullah SAW.
Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan sekretarisnya untuk membuat surat yang isinya adalah melamar kepada wanita yang bernama Zulfah binti Said, anak seorang bangsawan Madinah yang terkenal kaya raya dan terkenal sangat cantik jelita. Akhirnya, surat itu dibawah ke rumah Zahid dan oleh Zahid dibawa kerumah Said. Karena di rumah Said sedang ada tamu, maka Zahid setelah memberikan salam kemudian memberikan surat tersebut dan diterima di depan rumah Said.
“Wahai saudaraku Said, aku membawa surat dari Rasul yang mulia diberikan untukmu saudaraku.”
Said menjawab, “Adalah suatu kehormatan buatku.”
Lalu surat itu dibuka dan dibacanya. Ketika membaca surat tersebut, Said agak terperanjat karena tradisi Arab perkawinan yang selama ini biasanya seorang bangsawan harus kawin dengan keturunan bangsawan dan yang kaya harus kawin dengan orang kaya, itulah yang dinamakan SEKUFU.
Akhirnya Said bertanya kepada Zahid, “Wahai saudaraku, betulkah surat ini dari Rasulullah?”
Zahid menjawab, “Apakah engkau pernah melihat aku berbohong….”
Dalam suasana yang seperti itu Zulfah datang dan berkata, “Wahai ayah, kenapa sedikit tegang terhadap tamu ini…. bukankah lebih disuruh masuk?”
“Wahai anakku, ini adalah seorang pemuda yang sedang melamar engkau supaya engkau menjadi istrinya,” kata ayahnya.
Disaat itulah Zulfah melihat Zahid sambil menangis sejadi-jadinya dan berkata, “Wahai ayah, banyak pemuda yang tampan dan kaya raya semuanya menginginkan aku, aku tak mau ayah…..!” dan Zulfah merasa dirinya terhina.
Maka Said berkata kepada Zahid, “Wahai saudaraku, engkau tahu sendiri anakku tidak mau…bukan aku menghalanginya dan sampaikan kepada Rasulullah bahwa lamaranmu ditolak.”
Mendengar nama Rasul disebut ayahnya, Zulfah berhenti menangis dan bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayah, mengapa membawa-bawa nama rasul?”
Akhirnya Said berkata, “Ini yang melamarmu adalah perintah Rasulullah.”
Maka Zulfah istighfar beberapa kali dan menyesal atas kelancangan perbuatannya itu dan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah, kenapa sejak tadi ayah berkata bahwa yang melamar ini Rasulullah, kalau begitu segera aku harus dikawinkan dengan pemuda ini. Karena ingat firman Allah dalam Al-Qur’an surat 24 : 51. “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan. Kami mendengar, dan kami patuh/taat”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 24:51)”
Zahid pada hari itu merasa jiwanya melayang ke angkasa dan baru kali ini merasakan bahagia yang tiada tara dan segera pamit pulang. Sampai di masjid ia bersujud syukur. Rasul yang mulia tersenyum melihat gerak-gerik Zahid yang berbeda dari biasanya.
“Bagaimana Zahid?”
“Alhamdulillah diterima ya rasul,” jawab Zahid.
“Sudah ada persiapan?”
Zahid menundukkan kepala sambil berkata, “Ya Rasul, kami tidak memiliki apa-apa.”
Akhirnya Rasulullah menyuruhnya pergi ke Abu Bakar, Ustman, dan Abdurrahman bi Auf. Setelah mendapatkan uang yang cukup banyak, Zahid pergi ke pasar untuk membeli persiapan perkawinan. Dalam kondisi itulah Rasulullah SAW menyerukan umat Islam untuk menghadapi kaum kafir yang akan menghancurkan Islam.
Ketika Zahid sampai di masjid, dia melihat kaum Muslimin sudah siap-siap dengan perlengkapan senjata, Zahid bertanya, “Ada apa ini?”
Sahabat menjawab, “Wahai Zahid, hari ini orang kafir akan menghancurkan kita, maka apakah engkau tidak mengerti?”.
Zahid istighfar beberapa kali sambil berkata, “Wah kalau begitu perlengkapan kawin ini akan aku jual dan akan kubelikan kuda yang terbagus.”
Para sahabat menasehatinya, “Wahai Zahid, nanti malam kamu berbulan madu, tetapi engkau hendak berperang?”
Zahid menjawab dengan tegas, “Itu tidak mungkin!”
Lalu Zahid menyitir ayat sebagai berikut, “Jika bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih baik kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. 9:24).
Akhirnya Zahid (Aswad) maju ke medan pertempuran dan mati syahid di jalan Allah.
Rasulullah berkata, “Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah.”
Lalu Rasulullah membacakan Al-Qur’an surat 3 : 169-170 dan 2:154). “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal dibelakang yang belum menyusul mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati“.(QS 3: 169-170).
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. 2:154).
Pada saat itulah para sahabat meneteskan air mata dan Zulfahpun berkata, “Ya Allah, alangkah bahagianya calon suamiku itu, jika aku tidak bisa mendampinginya di dunia izinkanlah aku mendampinginya di akhirat.”
HIKMAH
Mudah-mudahan bermanfaat dan bisa menjadi renungan buat kita bahwa, “Untuk Allah di atas segalanya, and die as syuhada.” Jazakumullah.

Astagfirullah

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah S.A.W sedang duduk bersama  para sahabat, kemudian datang pemuda Arab masuk ke alam masjid dengan  menangis.
Apabila Rasulullah S..A.W melihat pemuda itu menangis maka baginda pun  berkata, “Wahai orang muda kenapa kamu menangis?” Maka berkata orang ; muda itu,”Ya
Rasulullah S.A.W, ayah saya telah meninggal dunia dan tidak  ada kain kafan dan tidak ada orang yang hendak memandikannya.”
Lalu Rasulullah S.A.W memerintahkan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. ikut orang muda itu untuk melihat masalahnya. Setelah mengikuti orang itu, maka
Abu Bakar r.a dan Umar r.a. mendapati ayah orang muda itu telah bertukar  rupa menjadi babi hitam, maka mereka pun kembali dan memberitahu kepada  Rasulullah S.A.W,  “Ya Rasulullah S.A.W, kami lihat mayat ayah orang ini bertukar menjadi  babi hutan yang hitam.”kemudian Rasulullah S.A.W dan para sahabat pun  pergi ke rumah orang muda dan baginda pun berdoa kepada Allah S.W.T,  kemudian mayat itu pun bertukar kepada bentuk manusia semula.
Lalu Rasulullah S.A.W dan para sahabat menyembahyangkan mayat tersebut.  Apabila mayat itu hendak dikebumikan, maka sekali lagi mayat itu berubah menjadi seperti babi hutan yang hitam, maka Rasulullah S.A.W pun bertanya  kepada pemuda itu, “Wahai orang muda, apakah yang telah dilakukan oleh ayahmu sewaktu dia di dunia dulu?” Berkata orang muda itu, “Sebenarnya ayahku ini tidak mau mengerjakan shalat.”
Kemudian Rasulullah S.A.W bersabda, “Wahai para sahabatku,lihatlah keadaan orang yang meninggalkan sembahyang. Di hari kiamat nanti akan bangkitkan oleh Allah S.W.T seperti babi hutan yang hitam.”
Dizaman Abu Bakar r.a ada seorang lelaki yang meninggal dunia dan sewaktu mereka menyembahyanginya tiba-tiba kain kafan itu bergerak.
Apabila mereka membuka kain kafan itu mereka melihat ada seekor ular sedang membelit leher mayat tersebut serta memakan daging dan menghisap
darah mayat. Lalu mereka coba membunuh ular itu.  Apabila mereka coba untuk membunuh ular itu, maka berkata ular tersebut,  “Laa ilaaha illallahu Muhammad Rasulullah, mengapakah kamu semua hendak membunuh aku? Aku tidak berdosa dan aku tidak bersalah. Allah S.W.T yang memerintahkan kepadaku supaya menyiksanya sehingga sampai hari kiamat.”
Lalu para sahabat bertanya,”Apakah kesalahan yang telah dilakukan oleh mayat ini?”
Berkata ular, “Dia telah melakukan tiga kesalahan, diantaranya :
1. Apabila dia mendengar azan dia tidak mau datang untuk sembahyang berjamaah.
2. Dia tidak mau keluarkan zakat hartanya.
3. Dia tidak mau mendengar nasihat para ulama.

Sang Sufi

Tersebutlah seorang penganut tasawuf bernama Nidzam al-Mahmudi. Ia tinggal di sebuah kampung terpencil, dalam sebuah gubuk kecil. Istri dan anak-anaknya hidup dengan amat sederhana. Akan tetapi, semua anaknya berpikiran  cerdas dan berpendidikan.
Selain penduduk kampung itu, tidak ada yang tahu bahwa ia mempunyai kebun subur berhektar-hektar dan perniagaan yang kian berkembang di beberapa kota besar. Dengan kekayaan yang diputar secara mahir itu ia dapat menghidupi ratusan keluarga yg bergantung padanya. Tingkat kemakmuran para kuli dan pegawainya bahkan jauh lebih tinggi ketimbang sang majikan. Namun, Nidzam al-Mahmudi merasa amat bahagia dan damai menikmati perjalanan usianya.
Salah seorang anaknya pernah bertanya, `Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah? Bukankah Ayah mampu?”
“Ada beberapa sebab mengapa Ayah lebih suka menempati sebuah gubuk kecil,” jawab sang sufi yang tidak terkenal itu.
“Pertama, karena betapa pun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyata hanya tempat untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya. Sehari-harian ia Cuma mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya. Ia terlepas dari masyarakatnya. Dan ia terlepas dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia akan kurang bersyukur kepada Allah.”
Anaknya yang sudah cukup dewasa itu membenarkan ucapan ayahnya dalam hati.
Apalagi ketika sang Ayah melanjutkan argumentasinya, “Kedua, dengan menempati sebuah gubuk kecil, kalian akan menjadi cepat dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lebih selesa. Ketiga, kami dulu cuma berdua, Ayah dan Ibu. Kelak akan menjadi berdua lagi setelah anak-anak semuanya berumah tangga. Apalagi Ayah dan Ibu menempati rumah yang besar, bukankah kelengangan suasana akan lebih terasa dan menyiksa?”
Si anak tercenung. Alangkah bijaknya sikap sang ayah yang tampak lugu dan polos itu. Ia seorang hartawan yang kekayaannya melimpah. Akan tetapi, keringatnya setiap hari selalu bercucuran. Ia ikut mencangkul dan menuai hasil tanaman. Ia betul-betul menikmati kekayaannya dengan cara yang paling mendasar. Ia tidak melayang-layang dalam buaian harta benda sehingga sebenarnya bukan merasakan kekayaan, melainkan kepayahan semata-mata. Sebab banyak hartawan lain yang hanya bisa menghitung-hitung kekayaannya dalam bentuk angka-angka. Mereka hanya menikmati lembaran-lembaran kertas yang disangkanya kekayaan yang tiada tara. Padahal hakikatnya ia tidak menikmati apa-apa kecuali angan-angan kosongnya sendiri.
Kemudian anak itu lebih terkesima tatkala ayahnya meneruskan, “Anakku, jika aku membangun sebuah istana anggun, biayanya terlalu besar. Dan biaya sebesar itu kalau kubangunkan gubuk-gubuk kecil yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak tunawisma/gelandangan bisa terangkat martabatnya menjadi warga terhormat? Ingatlah anakku, dunia ini disediakan Tuhan untuk segenap mahkluknya. Dan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu sedikit, bahkan tidak cukup, untuk memuaskan hanya keserakahan seorang manusia saja”

Diambil dari percikan-iman

Mengenang Akhlak Nabi Muhammad SAW


Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya – tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku akhlak Muhammad!”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini…” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)”
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu’minun[23]: 1-11.
Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.
Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, “ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.
Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.
Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, “Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan.”
Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.”
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.
Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai pemimpin.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja,” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu.” Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2)
Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia.” Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi.
Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi, “Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!
Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? “Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.” Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita atau tidak.
Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa baris di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, “lakukanlah!” Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah.” Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. Sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.
Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na’udzu billah…
Nabi Muhammad ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah…?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “benar ya Rasul!”
Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah.”Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah… Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah”
Nadirsyah Hosen Dewan Asaatiz Pesantren Virtual
Wassalam

Entrepreneurship Rasulullah

Sahabat-sahabat,
Ternyata dalam kajian tentang Rasulullah, ada saat yang kurang kita bahas. Kebanyakan kita bahas adalah mulai dari umur 17 tahun sampai 20 tahun. Kita tahu mengenai beliau ketika umur 25 tahun tetapi dengan imej yang negatif, yaitu seorang pemuda menikahi janda kaya raya. Padahal kalau dilihat dari maharnya mencapai 20 ekor unta muda yang jika dihargai sekarang kurang lebih setengah milyar rupiah, Bayangkan saja.
Hal lainnya yang amat jarang kita bahas adalah bagaimana Muhammad menjadi professional. Umat Islam sekarang menjadi babak belur, karena kita tidak mengerti bagaimana menjadi professional. Mengurus masjid kecil, wc bahkan sandal saja repot sekali. Hal yang perlu kita kembangkan adalah jiwa entrepreneur.
Rasulullah sebagai bukti bahwa dengan memiliki jiwa entrepreneur maka orang akan mampu mengendalikan apa saja. Contohnya di Singapura yang merupakan negara pedagang walaupun mereka tidak mempunyai sumber daya.Taiwan, Jepang bahkan Korea hampir menguasai dunia.
Rasulullah dilahirkan dalam keadaan yatim. Dalam usia enam tahun ibunya meninggal dalam perjalanan kembali dari Yatrib setelah menengok kuburan ayahnya. Usia 6tahun beliau sudah yatim-piatu dan tidak punya pegangan. Sampai usia 8 tahun 2 bulan dibina dan didik kakeknya Abdul Muthalib yang cukup berada.
Di usia ini kakeknyawafat, setelah itu ia dalam perlindungan pamannya AbuThalib yang tidak sekaya kakeknya, mulai saat itulah pemuda kecil Muhammad menggembala kambing, mencari nafkah sendiri. Usia 12 tahun Rasul diajak pamannya dalam perjalanan dagang pertama kali ke Syria. Syria itu jaraknya ribuan kilometer.
Bayangkan umur 12 tahun tidak pakai pesawat atau mobil!!!. Anak-anak kita umur12 tahun sedang malas-malasnya. Masa kecil kita bukan masa teruji, bukan masa tertempa. Semua dimudahkan oleh orang tua kita. Disini saya akan membahas kenapa kita ini menjadi warga yang looser.
Saudara-saudara Sekalian,
Sepulang dari perjalanan dagang pertamanya, beliau begitu sering bisnis bahkan sampai ke seluruh JazirahArab sudah terkenal seorang professional muda bernama Muhammad. Di usia 25 tahun, beliau menikah dengan seorang konglomerawati bernama Khadijah. Setelah genap hampir sepuluh kali perjalanan dagang yang beliau tempuh, kalau setiap kali perjalanan dagang beliau mendapatkan untung dua ekor unta betina.
Subhanallah,
Maka ketika meminang Siti Khadijah beliau memberi maskawin sebesar duapuluh ekor unta muda atau kurang lebih setengah milyar rupiah!!!. Mana ada pengusaha muda di Indonesia yang mau memberi mahar begitu besar kepada istrinya. Coba cari sekarang ada atau tidak di Indonesia seseorang yang sudah berani menikah dengan memberi mahar setengah milyar. Paling top orang kaya itu seperangkat alat sholat.
Jadi kita bisa membayangkan bagaimana dashyatnya Muhammad muda ini. Hal ini yang jarang kita pelajari, bagaimana etos kerja beliau padahal beliau tidak ada uang, tidak ada keahlian. Jadi saudara-saudara, jangan merasa malu lahir dari orang tua yang miskin, Rasul bahkan tidak punya bapak.
Jangan merasa berpendidikan rendah, Nabi saja tidak sekolah. Jangan merasa tidakpunya modal, Nabi tidak punya modal sama sekali. Tidak ada alasan. Kita itu paling hobi memperbanyak alasan. Padahal alasan memperjelas kelemahan kita.
Jadi bangsa ini mau sesulit apapun, tidak ada pilihan bagi kita kecuali kita bangkit dengan semangat. Saya termasuk yang tidak mau pusing dengan keadaan sekarang kalau akhirnya akan melemahkan semangat . Situasi sesulit apapun, pilihannya cuma satu yaitu kita harus bangkit bersama-sama.
Mengeluh, mencela tidak akan menyelesaikan masalah, kalau ada yang dapat terselesaikan dengan masalah, silakan saja mengeluh sepuasnya. Kalau ada yang bisa selesai dengan umpatan dan makian, silakan mengumpat. Kita tidak punya waktu, waktu kita terbatas. Satu – satunya pilihan adalah kita harus bangkit. Allah Maha Kaya, mau seperti apa saja keadaanya, rezeki Allah tidak akan berkurang. Ini rumusnya yang akan kita coba bahas.
Rekan-rekan sekalian, Para orang tua, jangan merasa sudah tua. Tenang saja kita masih punya anak cucu. Para kaum muda ini kesempatan bahwa kita sudah disiapkan sukses oleh Allah. Sudah diilhamkan potensi sholeh/bejat. Kita sebelum dilahirkan ke dunia sudah pernah bertarung dengan 150 juta pesaing yaitu sel sperma dan yang jadi menemui sel telur adalah kita. We are the winner. Kita pernah memasuki persaingan dan kita menang. Kenapa kalau sudah hidup jadi kalah??
Jadi tekad harus kita canangkan dari sekarang. Kalau kita lihat sejarah, baru tahun 1984 ilmu wirausaha ini mulai dikembangkan, padahal Nabi Muhammad SAW sudah 1500 tahun yang lalu mencanangkan bahwa kita itu bisa kokoh dan kuat justru dengan kewirausahaan yang ada. Kuncinya ternyata semua wirausahawan sejati tergantung dari masa kecilnya.
Masa kecil seseorang itulah yang menentukan kualifikasi enterpreneurship orang tersebut. Kalau masa kecilnya selalu dimanja, selalu ditolong maka bersiaplah menuai anak yang tidak berdaya. Para pengusaha kita sedikit yang masa kecilnya susah.
Saudara-saudaraku,
Bagi yang masih muda, jangan bercita-cita punya pekerjaan setelah lulus. Mulai sekarang kalau saya lulus, saya ingin membuat pekerjaan, tidak perlu melamar kemanapun. Langsung jadi direktur utama merangkap staf dan pegawai inti. Bangsa ini tidak akan selesai hari ini. Mulailah tanamkan jiwa enterpreneurship pada anak-anak kita. Ingatlah padawaktu kita kecil, waktu belajar jalan, bediri sedikit sudah jatuh. Bangkit lagi, benjol berdarah dan apakah kita putus asa?, apakah kita mengeluh?.
Potensi untuk berani bertindak sudah ada hanya orang tua yang dapat melemahkan semangat kita. Dilarang naikkursi takut jatuh, dilarang main pisau nanti berdarah. Dia tidak pernah punya pengalaman untuk mengambil pilihan. Dia tidak pernah punya pengalaman untuk mengetahui resiko dari tindakannya.
Menyelesaikan bangsa kita sekarang bukan saja oleh kita sekarang, dengan mempersiapkan keturunan kita juga merupakan tanggung jawab kita kepada umat ke depan. Tidak pernah ada kata terlambat. Didik anak-anak kita dari kecil buat jadi mandiri, bebas, berani bertanggung jawab supaya dia percaya diri.
Kalau dia jatuh biarkan saja. Ini adalah membangun bangsa ini. Ini adalah membangunmasa depan umat, yaitu bagaimana para orang tua membangun anak-anaknya. Kalau mereka mau jajan harus ada pertaruhannya, setiap rupiah harus ada perjuangannya.
Latih anak-anak kita untuk selalu bertanggung jawab terhadap apa yang dia lakukan. Orang tua yang memanjakan anaknya sengsaranya juga akan kembali ke orang tua. Latihlah entrepreneurship dari uang jajan bulanan yang bertanggungjawab pemakaiannya. Semoga Allah mengampuni segala kesalahan kita. Saya semenjak SD sampai SMA sudah berjualan, lulus kuliah tidak pernah mengambil ijazah sampai sekarang.
Alhamdulillah, rezeki Allah tidak kemana-mana.Allahu akbar, Allah Maha Besar sampai sekarang mampu membangun Daarut Tauhiid sampai sebegini besar. Tapi ini benar-benar membuat keyakinan jika jiwa entrepreneurship tertanam pada diri-diri kita, kita tidak pernah takut menghadapi situasi apapun. Kalau saja ini dikelola oleh orang- orang yang berjiwa wirausaha yang baik pasti akan sukses.
Bagaimana mungkin dengan alam yang begitu kaya kita bisa miskin, cuma kita saja yang bodoh sampai tertipu tetangga karena kita tidak mengerti cara mengelolanya. Saudara-saudaraku sekalian, Hikmahnya yang pertama adalah hati-hati dengan masa kecil, masa muda. Para mahasiswa sebaiknya sambil kuliah sambil cari nafkah. Pengalaman sudah harus dirintis, nantinya waktu kuliahnya sama hasilnya akan berbeda dengan orang lain.
Kedua, Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat sebagi nabi tidak punya apa-apa, mengapa setelah itu dapat menjadi orang kaya tanpa modal. Karena modal yang beliau punyai adalah Al-Amin yaitu orang yang kredibel. Mulai sekarang kita harus buat track record menjadi orang yang terpercaya dalam kehidupan kita. Modal kita itu adalah nama baik kita. Demi Allah, uang itu kecil.
Nama baiklah yang mahal. Mulai sekarang jangan pernah terpikir untuk licik. Mulut kita satu-satunya ini tidak boleh lagi berdusta. Mulut ini yang membuat kita kehilangan hidup, uang, dan kehormatan kita. Jangan main-main soal bohong ini. Biar kita diremehkan, disisihkan dan dikeluarkan karena kita jujur.
Daripada kita sebaliknya karena kita tidak pernah menikmati hidup selama kita berbohong. Cari rezeki tidak perlu bohong, Allah SWT sudah tahu kebutuhan kita daripada kita sendiri. Tiap kita itu sudah ditentukan rezekinya, tidak mungkin Allah menciptakan kita tanpa rezeki.
Rezeki dapat dibagi menjadi tiga, yaitu rezeki yang pertama adalah rezeki yang dijamin pasti ada, yaitu makan. Pada saat kita bayi kita tidak bisa mencari makan, apakah kita takut. Hal ini karena kita yakin sudah dijamin. Satu kesulitan mendatangkan dua kemudahan pada saat kita hendak terlahirkan. Ari-ari dipotong setelah itu mendapatkan makanan dari dua air susu ibu. Jadi setelah kita sebesar ini, apakah masih takut tidak makan. Yang harus kita takuti adalah makan makanan yang kita tidak tahu halal/haramnya. Demi Allah, kita akan ada rezekinya.
Rezeki yang kedua adalah rezeki yang digantungkan. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri. Semua sudah ada ukurannya sendiri. Justru akan gawat kalau rezeki kita sama semua. Kalau kita mencarinya di jalan Allah. Rezeki dapat, pahala dapat, barokah namanya. Kalau mau licik boleh-boleh saja. Rezeki dapat, dosa dapat, haram namanya.
Pencuri, koruptor itu maling hartanya sendiri. Kalau dia sholeh pasti ketemu rezekinya itu. Tidak perlu pakai licik. Tidak mungkin Allah menyediakan rezeki kalau harus pakai licik. Jujurlah pasti akan ketemu rezeki tersebut, mau kemana lagi. Ingatlah teori bayi, ketika menangis dengan suara pelan sang ibu hanya menenangkan dan tidak memberi makan. Kemudian si bayi menangis dengan berteriak tentu akan menarik perhatian dan ibu akan memberi makan kepadanya.
Saudara-saudara,
Saya khawatir kita apes seperti ini bukan tidak ada jatah kita, tapi kita tidak mengambilnya hanya sedikit. Jangan-jangan jatah saudara seratus juta perbulan tapi mengambilnya hanya lima ratus ribu. Jika sudah bekerja keras itu masih belum cukup. Bekerjakeras itu urusan fisik, bekerja cerdas itu urusan otak dan bekerja ikhlas itu urusan hati. Kalau ketiganya jalan baru ketemu.
Tanpa bermaksud meremehkan saudara kita tukang becak itu tidak kurang kerja kerasnya. Karena kalau tidak didorong tidak akan maju, tapi hasilnya hanya sepuluh ribu perhari. Tidak cukup mengandalkan otot saja, hati dan otak harus diperhatikan. Maka saudara-saudara jangan sampai berpikir licik untuk mendapatkan rezeki, rezeki itu tidak akan kemana-mana.
Rezeki yang ketiga adalah rezeki yang dijanjikan. Kita harus jatahkan setiap mendapatkannya harus langsung dikeluarkan sedekah/zakatnya. Demi Allah, Allah sudah berjanji barangsiapa yang ahli syukur nikmat yang ada Allah akan tambahkan. Tidak akan berkurang harta dengan sedekah, kecuali bertambah dan bertambah. Inilah rumusnya kalau tidak mau uang kita sia-sia.

Sami Zaidan, kisah sang Syuhada

    Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu,

Sepuluh Hari Syahid, Jasadnya Masih Mengeluarkan Darah Segar Madrasah Brigade al Qassam telah banyak mengeluarkan pahlawan mujahidin, termasuk dari kota Tel. Di antara mereka ada yang menjadi pemimpin besar yang banyak dari mereka menjadi prajurit-prajurit perlawanan yang tidak dikenal yang kini telah bergabung dalam barisan kafilah syuhada’ Palestina.
Pahlawan kita kali ini adalah satu di antara pejuang Palestina yang menjadi alumni madrasah Brigade al Qassam. Sami Zaidan, seorang pemuda bertaqwa dan wara’ yang mengenal hak Rabbnya, mengenal hak tanah air dan bumi tempat ia berpijak. Dia keluar dari madrasah al Qassam menjadi mujahid berjuang di jalan Allah.
Dialah Sami “Muhammad Samir” Zaidan, lahir di desa Tel berdekatan dengan kota Nablus pada 11 Oktober 1980. Berasal dari keluarga religius yang hidup dari hasil menggarap lahan (bertani). Dia adalah anak kedelapan dari sebelas bersaudara. Tumbuh dalam suasana keimanan dan jihad perjuangan. Terdidik mencintai masjid. Senantiasa melaksanakan shalat berjama’ah di masjid. Tidak pernah sekalipun terlewatkan shalat di masjid, bagaimanapun kondisinya.
Terlebih shalat subuh. Halaqah al Qur’an diikutinya di masjid desa hingga hafal (hafidz) al Qur’an secara keseluruhan pada usia 19 tahun.
Pendidikan formal hanya sampai pada tingkat menengah atas (SMU). Selanjutnya bekerja bersama orang tuanya sebagai petani. Pahlawan kita ini memiliki sifat kesatria dan matang sedari awal pertumbuhannya. Hal yang paling dikenang ayahnya adalah kebiasaannya membuat mudah segala urusan rumah dan yang berkaitan dengan penggarapan tanah dan pertaniannya. Bidang ini ditekuninya secara mahir dan mumpuni.
Di tengah-tengah arogansi dan kebiadaban Zionis terhadap rakyat Palestina dan tempat-tempat sucinya, pahlawan kita ini dapat merasakan pedih dan sakitnya penderitaan yang harus dialami rakyat Palestina akibat oleh tangah kaum Zionis. Untuk itu, dia memutuskan bergabung dalam barisan Gerakan Perlawanan Islam HAMAS dan aktif dalam berbagai aktivitas dan amal jihad di dalam gerakan.
Begitu intifadhah al Aqsha meletus (September 2000), yang kemudian disusul eskalasi terorisme Zionis Israel terhadap rakyat Palestina, pejuang Palestina ini langsung terjun ke medan jihad dan bergabung dalam sayap militer gerakan HAMAS, Brigade Izzuddin al Qassam.
Pembunuhan komandan al Qassam Mahmud Abu Hanud di Tepi Barat telah mengobarkan aksi-aksi serangan balasan oleh sayap militer HAMAS ini hingga menjungkirbalikan nalar dan logika penjajah Zionis Israel. Sehingga tidak ada jalan lain bagi Zionis Israel kecuali menggelar operasi penangkapan di kalangan mujahidin dan aktivis gerakan HAMAS serta dari kelompok perlawanan Palestina lainnya.
Sami Zaidan adalah salah satu dari mujahidin Palestina yang turut ditangkap dan dititipkan dalam Penjara Pusat di Nablus yang dijaga oleh anggota pasukan keamanan Palestina. Pada saat yang sama pesawat-pesawat dan tank-tank Zionis Israel terus melancarkan gempuran dan pembunuhan terhadap rakyat Palestina.
Sami tetap mendekam dalam penjara pemerintah Palestina sampai sebelum aksi pendudukan penjajah Zionis Israel secara total atas kota Nablus dan kota-kota lain di Tepi Barat pada musim panas tahun 2002. Begitu keluar dari penjara, pejuang Palestina ini langsung bergabung dengan mujahidin Palestina dan anggota al Qassam lainnya guna melakukan persiapan memburu para agresor penjajah Zionis Israel.
Sejak saat itu, Sami Zaidan tidak pernah lagi melihat keluarga dan kerabatnya. Karena telah menjadi buron pihak penjajah Zionis Israel bersama para mujahidin al Qassam. Tinggal di gua-gua dan gunung-gunung, seraya mempersiapkan rencana bersama teman-temannya untuk melakukan aksi-aksi kepahlawanan yang menggoncang langsung tempat pembaringan para penjajah.
Aksi yang paling terkenal, di mana Sami Zaidan turut dalam pelaksanaannya, adalah aksi kepahlawanan di permukiman Yahudi Emanuel pada 16 Juli 2002 yang mengakibatkan lebih dari 10 orang Israel tewas dan 40 orang lainnya terluka.
Sehari setelah aksi kepahlawanan ini, salah seorang teman seperjuangan di Brigade al Qassam, Ashim Ushaida, gugur syahid.
Setelah aksi kepahlawanan yang dilakukan Brigade al Qassam ini, yang merupakan aksi kedua di tempat yang sama, pihak penjajah Zionis Israel langsung menggelar operasi penyerbuan secara ekspansif di desa Tel dan kota Nablus guna mencari para pejuang al Qassam. Mereka gempur rumah-rumah pejuang al Qassam yang menjadi buron serta menangkap keluarga dan kerabatnya, menghancurkan rumah-rumah para pelaku aksi syahid dan para buron serta mengancam akan mendeportasi keluarga dan kerabat para pejuang ke Jalur Gaza. Pada suatu malam yang dingin dan gelap, Januari 2002, di desa Tel ada 6 mujahidin al Qassam yang telah duduk di sebuah lokasi di dalam desa. Sementara mata para antek pengecut tengah mengintai mereka. Keenam muajahidin Palestina tersebut adalah Nashrudin Ushaida bersama rekan-rekannya, Ashim Ushaida, Sami Zaidan, Umar Ushaida beserta saudaranya Ayub Ushaida dan Nail Ramadhan. Mereka tengah berkumpul membahas dan merencanakan aksi jihad. Namun tiba-tiba desa Tel telah dipenuhi serdadu militer Zionis Israel yang didukung dua pesawat heli tempur Apache buatan Amerika. Pertempuran sengit tidak bisa dihindarkan antara pejuang al Qassam ini dengan pasukan penjajah Zionis Israel hingga mengakibatkan salah seorang pejuang al Qassam Nail Ramadhan gugur syahid.
Pasukan penjajah Zionis Israel mengepung lokasi pertemuan para pejuang al Qassam terebut dan pada hari itu juga Ayub Ushaida ditangkap, sementara itu Allah menyelamatkan para mujahidin lainnya dan berhasil meloloskan diri.
Padahal jarak antara mereka dengan pasukan penjajah Zionis Israel hanya dua meter. Kehendak Ilahi telah mentakdirkan mereka untuk tetap bebas menjadi duri sandungan bagi penjajah Zionis Israel.
Sejak hari pertama bergabung dengan Brigade al Qassam, asy Syahid Sami Zaidan telah mengetahui tabiat jalan yang dipilih untuk dirinya. Jalan yang penuh dengan onak dan duri.
Dia tahu betul bahwa nasib para mujahidin hanya satu dari dua pilihan, kemenangan nyata dari Allah atau mati syahid di jalan-Nya. Dia yakin betul, bahwa siapa saja yang ingin berjuang maka dia harus jujur dengan Allah dan dirinya sendiri. Tidak mencari-cari alasan untuk membenarkan kemalasan dan kelambanannya.
Hari itu, Rabu tanggal 1 Januari 2003 pukul 8 malam, Sami bertolak sendirian menuju lokasi penyergapan di jalan antara permukiman Yahudi Emanuel dan Yetzihar dekat daerah lembah Qana. Setelah memastikan target dia bersiap sambil menunggu target mendekat, patroli penjaga perbatasan yang penuh dengan serdadu Zionis Israel bersenjata lengkap. Dia pun tetap menunggu mereka sendirian. Dan pada saat yang tepat, singa al Qassam ini langsung menggeber para serdadu dengan bom dan memuntahkan misiu dari moncong Klasnikov yang disandangnya hingga hingga semua serdadu Israel tersungkur antara tewas dan terluka. Setelah yakin semua serdadu Zionis Israel tersungkur, singa al Qassam ini melanjutkan episode penyergapan di lokasi lain. Dia sendiri telah memutuskan, hari itu dia bertekad tidak akan kembali kecuali telah syahid menuju syurga Allah.
Begitu rombongan serdadu Zionis Israel datang yang dikawal pesawat helikopter Apache buatan Amerika, maka gempuran pun tak dapat dihindari pasukan militer Israel hingga mereka kewalahan menghadapi singat al Qassam yang sepertinya menggoncangkan tanah tempat kaki mereka berpijak.
Pertempuran sengit berlangsung lebih dari 3 jam antara pejuang Palestina ini dengan para pengecut serdadu Zionis Israel yang terus mundur menghindari pertempuran. Pada saat itulah pesawat Apache yang biasa digunakan Zionis Israel dalam perbagai gempuran ke target-target warga Palestina memuntahkan roketnya ke posisi singa al Qassam ini hingga sebuah roket menghajar sisi kanannya bersama dengan tembusan timah panas yang dimuntahkan senjata otomatis ke tubuh sucinya. Sami pun kemudian menemui syahadah (mati syahid).
Setelah yakin bahwa pejuang Palestina telah gugur syahid, pasukan penjajah Zionis Israel meninggalkannya tergeletak di tanah tanpa memberi kabar kepada pihak terkait mengenai keberadaan jasad korban. Mereka berharap ada binatang buas atau tabiat alam yang melenyapkan jasadnya. Namun kehendak Allah berbicara lain, dia telah melindungi tubuh pejuang yang telah menjual jiwa dan hidupnya kepada-Nya.
Sepuluh hari kemudian jasad asy Syahid baru ditemukan oleh penggembala kambing saat melewati lokasi di manas Sami menemui syahadah. Penggembala pun segera teringat suara baku senjata di lokasi yang terjadi sepuluh hari yang lalu. Setelah mengenali tubuh asy Syahid, dia pun segera kembali ke desa yang memberi kabar keluarganya mengenai apa yang telah dilihatnya.
Ayah asy Syahid mengenang, “Sejak pihak pemerintah Palestina membiarkan anakku Sami Zaidan beberapa saat sebelum aksi pendudukan pasukan penjajah Zionis Israel atas kota Nablus pada April 2002, saya belum pernah melihat putraku yang telah menjadi buron pihak militer Zionis Israel. Pada 1 Januari 2003, kami mendengar kabar tentang aksi di lembah Qana. Paginya, saat kami mendengar berita dari stasiun TV al Manar, disebutkan bahwasanaya telah diketahui identitas asy Syahid yang gugur dalam aksi tersebut, yang tidak lain adalah putraku sendiri Sami Zaidan. Kami pun segera memuji Allah Azza wa Jalla karena putraku telah mendapatkan syahadah di jalan-Nya. Kami pun bersabar dan hanya mengharap pahala di sisi Allah tabaraka wa ta’ala.”
Warga desa Tel pun merasa terkejut dengan berita ini, pada awalnya mereka tidak percaya. Karena mereka yakin pasukan penjajah Zionis Israel “menculik” jasad asy Syahid setelah berakhirnya pertempuran, sebab inilah yang biasa dilakukan pihak penjajah Zionis Israel terhadap korban Palestina dalam peristiwa-peristiwa semacam ini. Mereka berkeyakinan bahwa jasad yang ditemukan adalah bukanlah jasad Sami. Hanya saja warga menegaskan sejak 10 hari dari pertempuran di lembah Qana tersebut belum pernah ada lagi aksi yang terjadi. Setelah keluarga bersama warga lainnya menuju lokasi mereka baru yakin bahwa itu adalah jasad Sami yang masih utuh dan segar.
Benar-benar karamah ilahiyah terjadi pada kesyahidan singa al Qassam ini.
Mereka yang hadir saat itu, seakan tidak percaya, menyaksikan kijang berada di sisi jasad asy Syahid. Hewan langka ini tidak meninggalkan jasad asy Syahid kecuali setelah warga berjarak beberapa meter saja. Seakan penjaga yang dikirim Allah untuk menghalau bahaya yang akan menimpa jasad asy Syahid.
Karamah lainnya, seperti ditegaskan warga desa Tel yang hadir, mereka melihat dengan mata kepala sendiri darah segar masih mengucur dari jasadnya.
Darah itu terus mengalir dan tidak mengering, segar dan merah seakan luka itu terjadi beberapa detik yang lalu. Bahkan warna kulitnya pun tidak mengalami perubahan apapun, semerbak bau wangi memenuhi sekitar lokasi.
Itulah sekelumit riwayat asy Syahid Sami “Muhmmad Samir” Zaidan, seorang pejuang tangguh yang lahir dari madrasah al Qassam di kota Nablus.

Ujub dan Takabur


Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”
Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”
Murid itu heran, “Mengapa, ya Tuan Guru?”
“Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab Bayazid.
“Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid.
“Bisa,” ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.”
“Tentu saja akan aku lakukan,” sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak- anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!”
“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu terkejut.
Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.”
Murid itu keheranan, “Mengapa bisa begitu?”
Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan- akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”
“Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.”
Bayazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!”
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur.
“Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak.
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?”
Nabi menjawab, :”Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah kamu.”
Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam.
Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah.”
Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya.”
Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di majelis itu?”
Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi.
Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?”
“Aku,” jawab Abu Bakar.
Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku’.”
Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?”
Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?”
Nabi masih bertanya, “Siapa yang akan membunuh orang itu?”
Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.”
Nabi kemudian bersabda, “Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah:
Selama di tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami kepada santrinya.

Kisah ibunda Khadijah r.ha

erva kurniawan 1:39 am pada 5 Maret 2012 Permalink | Balas  

Bermimpi Matahari Turun Ke Rumahnya
Dia adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.
Banyak pemuka Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kahwin berapa pun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan halus kerana tak ada yang berkenan di hatinya. Pada suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun dari langit, masuk ke dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya merata kesemua tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang luput dari sinarnya.
Mimpi itu diceritakan kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan ahli tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Waraqah berkata: “Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman.”
“Nabi itu berasal dari negeri mana?” tanya Khadijah bersungguh-sungguh.
“Dari kota Makkah ini!” ujar Waraqah singkat.
“Dari suku mana?”
“Dari suku Quraisy juga.”
Khadijah bertanya lebih jauh: “Dari keluarga mana?”
“Dari keluarga Bani Hasyim, keluarga terhormat,” kata Waraqah dengan nada menghibur.
Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan terakhir: “Siapakah nama bakal orang agung itu, hai sepupuku?”
Orang tua itu mempertegas: “Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!”
Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya. Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu.
Makkam Siti Khadijah
Makkam Siti Khadijah
Muhammad, bakal suami wanita hartawan itu, adalah seorang yatim piatu yang miskin sejak kecilnya, dipelihara oleh pamannya, Abu Thalib, yang hidupnya pun serba kekurangan. Meskipun demikian, pamanya amat sayang kepadanya, menganggapnya seperti anak kandung sendiri, mendidik dan mengasuhnya sebaik-baiknya dengan adab, tingkah laku dan budi pekerti yang terpuji.
Pada suatu ketika, Abu Thalib berbincang-bincang dengan saudara perempuannya bernama ‘Atiqah mengenai diri Muhammad. Beliau berkata: “Muhammad sudah pemuda dua puluh empat tahun. Semestinyalah sudah kawin. Tapi kita tak mampu mengadakan perbelanjaan, dan tidak tahu apa yang harus diperbuat.”
Setelah memikirkan segala ikhtiar, ‘Atiqah pun berkata: “Saudaraku, saya mendengar berita bahwa Khadijah akan memberangkatkan kafilah niaga ke negeri Syam dalam waktu dekat ini. Siapa yang berhubungan dengannya biasanya rezekinya bagus, diberkati Allah SWT. Bagaimana kalau kita pekerjakan Muhammad kepadanya? Saya kira inilah jalan untuk memperolehi nafkah, kemudian dicarikan isterinya.”
Abu Thalib menyetujui saran saudara perempuannya. Dirundingkan dengan Muhammad, ia pun tidak keberatan. ‘Atiqah mendatangi wanita hartawan itu, melamar pekerjaan bagi Muhammad, agar kiranya dapat diikut sertakan dalam kafilah niaga ke negeri Syam.
Khadijah, tatkala mendengar nama “Muhammad”, ia berfikir dalam hatinya: “Oh… inikah takwil mimpiku sebagaimana yang diramalkan oleh Waraqah bin Naufal, bahwa ia dari suku Quraisy dan dari keluarga Bani Hasyim, dan namanya Muhammad, orang terpuji, berbudi pekerti tinggi dan nabi akhir zaman.” Seketika itu juga timbullah hasrat di dalam hatinya untuk bersuamikan Muhammad, tetapi tidak dilahirkannya karena kuatir akan menjadi fitnah.
“Baiklah,” ujar Khadijah kepada ‘Atiqah, “saya terima Muhammad dan saya berterima kasih atas kesediaannya. Semoga Allah SWT melimpahkan berkatnya atas kita bersama.”. Wajah Khadijah cerah, tersenyum sopan, menyembunyikan apa yang ada di kalbunya. Kemudian ia meneruskan: “Wahai ‘Atiqah, saya tempatkan setiap orang dalam rombongan niaga dengan penghasilan tinggi, dan bagi Muhammad SAW akan diberikan lebih tinggi dari biasanya.”
‘Atiqah berterima kasih, ia pulang dengan perasaan gembira menemui saudaranya, menceritakan kepadanya hasil perundingannya dengan wanita hartawan dan budiman itu. Abu Thalib menyambutnya dengan gembira. Kedua saudara itu memanggil Muhammad SAW seraya berkata: “Pergilah ananda kepada Khadijah r.a, ia menerima engkau sebagai pekerjanya. Kerjakanlah tugasmu sebaik-baiknya.”
Muhammad SAW menuju ke rumah wanita pengusaha itu. Sementara akan keluar dari pekarangan rumah pamannya, tiba-tiba ia mencucurkan air mata kesedihan mengenang nasibnya. Tiada yang menyaksikannya dan menyertainya dalam kesedihan hati itu selain para malaikat langit dan bumi.
Kesaksian Seorang Rahib
Tatkala kafilah niaga itu siap akan berangkat, berkatalah Maisarah, kepala rombongan: “Hai Muhammad, pakailah baju bulu itu, dan peganglah bendera kafilah. Engkau berjalan di depan, menuju ke negeri Syam!”
Muhammad SAW melaksanakan perintah. Setelah iring-iringan keluar dari halaman memasuki jalan raya, tanpa sadar Muhammad SAW menangis kembali, tiada yang melihatnya kecuali Allah dan para malaikat-Nya. Dari mulutnya terucap suara kecil: “Aduh hai nasib! dimana gerangan ayahku Abdullah, dimana gerangan ibuku Aminah. Kiranya mereka menyaksikan nasib anaknya yang miskin yatim piatu ini, yang justeru lantaran ketiadaannyalah sehingga terbawa jadi buruh upahan ke negeri jauh. Aku tidak tahu apakah aku masih akan kembali lagi ke negeri ini, tanah tumpah darahku.”
Jeritan batin itu membuat para malaikat langit bersedih. Mereka memintakan rahmat baginya. Maisarah memperlakukan Muhammad SAW dengan agak istimewa, sesuai dengan wasiat Khadijah. Diberinya pakaian terhormat, kendaraan unta yang tangkas dengan segala perlengkapannya.
Perjalanan mengambil waktu beberapa hari. Terik matahari begitu panas sekali. Tetapi Muhammad SAW berjalan senantiasa dipayungi awan yang menaunginya hingga mereka berhenti di sebuah peristirahatan dekat rumah seorang Rahib Nasrani.
Muhammad SAW turun dari untanya, pergi berangin-angin melepaskan lelah di bawah pohon yang teduh. Rahib keluar dari tempat pertapaannya. Ia terheran-heran melihat gumpalan awan menaungi kafilah dari Makkah, padahal tak pernah terjadi selama ini. Ia tahu apa arti tanda itu karena pernah dibacanya di dalam Kitab Taurat. Rahib menyiapkan suatu perjamuan bagi kafilah itu dengan maksud untuk menyiasat siapa pemilik karomah dari kalangan mereka.
Semua anggota rombongan hadir dalam majlis perjamuan itu, kecuali Muhammad SAW seorang diri yang tinggal untuk menjaga barang-barang dan kendaraan. Ketika Rahib melihat awan itu tidak bergerak, tetap di atas kafilah, bertanyalah beliau: “Apakah di antara kalian masih ada yang tidak hadir di sini?”
Maisarah menjawab: “Hanya seorang yang tinggal untuk menjaga barang-barang.”
Rahib pergi menjemput Muhammad SAW dan terus menjabat tangannya, membawanya ke majlis perjamuan. Ketika Muhammad SAW. bergerak, Rahib memperhatikan awan itu turut bergerak pula mengikuti arah ke mana Muhammad SAW berjalan. Dan di saat Muhammad SAW masuk ke ruangan perjamuan, Rahib keluar kembali menyaksikan awan itu, dan dilihatnya awan itu tetap di atas, tidak bergerak sedikit pun walaupun dihembus angin. Maka mengertilah ia siapa gerangan yang memiliki karomah dan keutamaan itu.
Rahib masuk kembali dan mendekati Muhammad SAW, bertanya: “Hai pemuda, dari negeri mana asalmu?”
“Dari Makkah”.
“Dari qabilah mana?” tanya sang Rahib.
“Dari Quraisy, tuan!”
“Dari keluarga siapa?”
“Keluarga Bani Hasyim.”
‘Siapa namamu?”
“Namaku, Muhammad.”
Serta merta ketika mendengar nama itu, Rahib berdiri dan terus memeluk Muhammad SAW serta menciumnya di antara kedua alisnya seraya mengucapkan: “Laa Ilaaha Illallaah, Muhammadar Rasulullah.” Ia menatap wajah Muhammad SAW dengan perasaan takjub, seraya bertanya: “Sudikah engkau memperlihatkan tanda di badanmu agar jiwaku tenteram dan keyakinanku lebih mantap?”
“Tanda apakah yang tuan maksudkan?” tanya Muhammad SAW.
“Silakan buka bajumu supaya kulihat tanda akhir kenabian di antara kedua bahumu!”
Muhammad SAW. memperkenankannya, dimana Rahib tua itu melihat dengan jelas ciri-ciri yang dimaksudkan. “Ya….ya….tertolong, tertolong!” seru Rahib. “Pergilah ke mana hendak pergi. Engkau terus ditolong!”
Rahib itu mengusap wajah Muhammad SAW, sambil menambahkan: “Hai hiasan di hari kemudian, hai pemberi syafa’at di akhirat, hai peribadi yang mulia, hai pembawa nikmat, hai nabi rahmat bagi seluruh alam!”
Dengan pengakuan demikian, Rahib dari Ahlil-Kitab itu telah menjadi seorang muslim sebelum Muhammad SAW. dengan rasmi menerima wahyu kerasulan dari langit.
Reruntuhan Rumah Khadijah
Pasar dibuka beberapa hari lamanya. Semua jualan laris dengan keuntungan berlipat ganda, mengatasi pengalaman yang sudah-sudah. Kebetulan pada saat itu bertepatan dengan hari Yahudi, yang dimeriahkan dengan upacara besar-besaran.
Muhammad SAW, Abu Bakar dan Maisarah keluar menonton keramaian itu. Tatkala Muhammad SAW memasuki tempat upacara untuk menyaksikan cara mereka beribadat, maka tiba-tiba berjatuhanlah semua lilin-lilin menyala yang bergantungan pada tali di sekitar ruangan, yang menyebabkan orang – orang Yahudi gemetar ketakutan.
Seorang di antara mereka bertanya: “Alamat apakah ini?” Semuanya heran, cemas dan ketakutan. “Ini berarti ada orang asing yang hadir di sini,” jawab pengerus upacara. “Kita baca dalam Taurat bahwa alamat ini akan muncul bilamana seorang lelaki bernama Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, mendatangi hari raya agama Yahudi. Mungkinkah sekarang orang itu berada di ruangan kita ini. Carilah lelaki itu, dan kalau bertemu, segeralah tangkap!”
Abu Bakar r.a, sahabat Muhammad SAW sejak dari kecil, dan Maisarah, yang mendengar berita itu segera mendekati Muhammad SAW yang berdiri agak terpisah, dan mengajaknya keluar perlahan-lahan di tengah-tengah kesibukan orang yang berdesak-desakan keluar masuk ruangan.
Tanpa menunda waktu lagi, Maisarah segera memerintahkan kafilah berangkat pulang ke Makkah. Dengan demikian tertolonglah Muhammad SAW dari kejahatan orang-orang Yahudi.
Nabi Muhammad Pulang Ke Makkah
Biasanya dalam perjalanan pulang, kira-kira jarak tujuh hari mendekati Makkah, Maisarah mengirim seorang utusan kepada Khadijah r.a, memberitahukan bakal kedatangan kafilah serta perkara-perkara lain yang menyangkut perjalanan.
Maisarah menawarkan kepada Muhammad SAW: “Apakah engkau bersedia diutus membawa berita ke Makkah?” Muhammad SAW berkata: “Ya, saya bersedia apabila ditugaskan”.
Pemimpin rombongan mempersiapkan unta yang cepat untuk dinaiki oleh utusan yang akan berangkat terlebih dahulu ke kota Makkah. Ia pun menulis sepucuk surat memberikan kepada majikannya bahwa perniagaan kafilah yang disertai Muhammad SAW mendapat hasil laba yang sangat memuaskan, dan menceritakan pula tentang pengalaman-pengalaman aneh yang berkaitan dengan diri Muhammad SAW.
Tatkala Muhammad SAW menuntun untanya dan sudah hilang dari pandangan mata, maka Allah SWT menyampaikan wahyu kepada malaikat Jibril a.s .: “Hai Jibril, singkatkanlah bumi di bawah kaki-kaki unta Muhammad SAW! Hai Israfil, jagalah ia dari sebelah kanannya! Hai Mikail, jagalah ia dari sebelah kirinya! Hai awan, teduhilah ia di atas kepalanya!”
Kemudian Allah SWT mendatangkan ngantuk kepadanya sehingga baginda SAW tertidur nyenyak dan tiba-tiba telah sampai di Makkah dalam tempoh yang cukup singkat. Saat terbangun, ia heran mendapati dirinya telah berada di pintu masuk kota kelahirannya. Baginda SAW sadar bahwa ini adalah mukjizat Tuhan kepadanya, lalu bersyukur memuji Zat Yang Maha Kuasa.
Sementara baginda SAW mengarahkan untanya menuju ke tempat Khadijah r.a, secara kebetulan Khadijah r.a pada saat itu sedang duduk sambil kepalanya keluar jendela memandangi jalan ke arah Syam, tiba-tiba dilihatnya Muhammad SAW di atas untanya dari arah bertentangan di bawah naungan awan yang bergerak perlahan-lahan di atas kepalanya. Khadijah r.a menajamkan matanya, bimbang kalau-kalau tertipu oleh penglihatannya, sebab yang dilihatnya hanyalah Muhammad SAW sendirian tanpa rombongan, padahal telah dipesannya kepada Maisarah agar menjaganya sebaik-baik. Ia bertanya kepada wanita-wanita sahayanya yang duduk di sekitarnya: “Apakah kamu mengenali siapa pengendara yang datang itu?” sambil tangannya menunjuk ke arah jalan.
Seorang di antara mereka menjawab: “Seolah-olah Muhammad Al-Amiin, ya sayyidati!”
Kegembiraan Khadijah r.a terlukis dalam ucapannya: “Kalau benar Muhammad Al-Amiin, maka kamu akan kumerdekakan bilamana ia telah sampai!”
Tak lama kemudian muncullah Muhammad SAW di depan pintu rumah wanita hartawan itu, yang langsung menyambutnya dengan tutur sapa tulus ikhlas: “Kuberikan anda unta pilihan, tunggangan khusus dengan apa yang ada di atasnya.”
Muhammad SAW mengucapkan terima kasih, kemudian menyerahkan surat dari ketua rombongan. Ia minta izin pulang ke rumah Pamannya setelah melaporkan tentang perniagaan mereka ke luar negeri.
Khadijah Menawarkan Diri
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata: “Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!” Suaranya ramah, bernada dermawan.
Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu harga dirinya, Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti. Katanya: “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu”. Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban.
“Oh, itukah….! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan,” kata Khadijah r.a. “Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu”. Ia berhenti sejenak, meneliti. Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung isyarat: “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu”. Khadijah tertunduk lalu melanjutkan: “Tetapi sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu”.
Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawapan, yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab.
Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah r.a.
Ia minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia menceritakan kepada Pamannya: “Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini dan itu “anu dan anu….” Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya itu.
‘Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim. Katanya: “Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya”. ‘Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya: “Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?”
Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati ‘Atiqah: “Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya; kalau tidak, aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati”.
Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat ‘Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius.
“Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu Waraqah bin Naufal?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan: “Kalau belum cobalah meminta persetujuannya.”
“Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran”, Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman.
‘Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan Khadijah “Itu bagus sekali”, kata Abu Thalib, “tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW lebih dulu.”
Rumah peninggalan Nabi Muhammmad saw dan sayyidah Khadijah
Sebelum diajak bermusyawarah, maka terlebih dahulu ia pun telah menerima seorang perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a yang datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan peribadi Khadijah itu bertanya: “Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari isteri?”
Muhammad SAW menjawab: “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”
“Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan menolaknya?”
“Siapakah dia?” tanya Muhammad SAW.
“Khadijah!” Nafisah berterus terang. “Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!”
Usaha Nafisah berhasil. Ia meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan langsung menemui Khadijah r.a, menceritakan kesediaan Muhammad SAW. Setelah Muhammad SAW menerima pemberitahuan dari saudara-saudaranya tentang hasil pertemuan dengan Khadijah r.a, maka baginda tidak keberatan mendapatkan seorang janda yang usianya lima belas tahun lebih tua daripadanya.
Betapa tidak setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia wanita bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan yang utama karena hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan dijodohkan dengannya.
Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur empat puluh, tapi janda yang masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih dan bermata jeli. Maka diadakanlah majlis yang penuh keindahan itu. Hadir Waraqah bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan resmi meminang Khadijah r.a kepada saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta tempo untuk berunding dengan wanita yang berkenaan.
Pernikahan Muhammad dengan Khadijah
Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah: “Hai anak sepupuku, betapa aku akan menolak Muhammad SAW padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas”.
“Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah.
“Kalau ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki. Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khadijah r.a menyerahkan urusannya.
Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan merestui bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan mas kahwin lima ratus dirham. Abu Bakar r.a, yang kelak mendapat sebutan “Ash-Shiddiq”, sahabat akrab Muhammad SAW. sejak dari masa kecil, memberikan sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawaan Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan agung, apalagi karena yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula.
Peristiwa pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah r.a berlangsung pada hari Jum’at, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah pamannya bernama ‘Amir bin Asad, sedang Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut: “Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar.
“Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama manusia.
“Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kahwin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.
“Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta pengalaman-pengalaman hebat.
“Semoga Allah memberkati pernikahan ini”.
Penyambutan untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah r.a membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan: “Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke jalan mana yang engkau ridhoi !”
Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan”. (Adh-Dhuhaa: 8) Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita.
Dijamin Masuk Syurga
Khadijah r.a mendampingi Muhammad SAW. selama dua puluh enam tahun, yakni enam belas tahun sebelum dilantik menjadi Nabi, dan sepuluh tahun sesudah masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada duanya, bercerai karena kematian. Tahun wafatnya disebut “Tahun Kesedihan” (‘Aamul Huzni).
Khadijah r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada Rasulullah SAW. ketika wahyu pertama turun dari langit. Tidak ada yang mendahuluinya. Ketika Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya pada peristiwa turunnya wahyu pertama yang disampaikan Jibril ‘alaihissalam, dimana beliau merasa ketakutan dan menggigil menyaksikan bentuk Jibril a.s dalam rupa aslinya, maka Khadijahlah yang pertama dapat mengerti makna peristiwa itu dan menghiburnya, sambil berkata: “Bergembiralah dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah SWT yang menguasai diri Khadijah r.a, engkau ini benar-benar akan menjadi Nabi Pesuruh Allah bagi umat kita.
“Allah SWT tidak akan mengecewakanmu. Bukankah engkau orang yang senantiasa berusaha untuk menghubungkan tali persaudaraan? Bukankah engkau selalu berkata benar? Bukankah engkau senantiasa menyantuni anak yatim piatu, menghormati tamu dan mengulurkan bantuan kepada setiap orang yang ditimpa kemalangan dan musibah?”
Khadijah r.a membela suaminya dengan harta dan dirinya di dalam menegakkan kalimah tauhid, serta selalu menghiburnya dalam duka derita yang dialaminya dari gangguan kaumnya yang masih ingkar terhadap kebenaran agama Islam, menangkis segala serangan caci maki yang dilancarkan oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan Quraisy.
Layaklah kalau Khadijah r.a mendapat keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain yaitu, menerima ucapan salam dari Allah SWT. yang disampaikan oleh malaikat Jibril a.s kepada Rasulullah SAW. disertai salam dari Jibril a.s peribadi untuk disampaikan kepada Khadijah radiallahu ‘anha serta dihiburnya dengan syurga.
Kesetiaan Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi SAW kepadanya tanpa terbatas. Nabi SAW pernah berkata: “Wanita yang utama dan yang pertama akan masuk Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad SAW., Maryam binti ‘Imran dan Asyiah binti Muzaahim, isteri Fir’aun”.
Wanita Terbaik
Sanjungan lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah SAW. terhadap peribadi Khadijah r.a ialah: “Dia adalah seorang wanita yang terbaik, karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam kebimbanga, dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain”.
Putera-puteri Rasulullah SAW. dari Khadijah r.a sebanyak tujuh orang: tiga lelaki (kesemuanya meninggal di waktu kecil) dan empat wanita. Salah satu dari puterinya bernama Fatimah, dinikahkan dengan Ali bin Abu Thalib, sama-sama sesuku Bani Hasyim. Keturunan dari kedua pasangan inilah yang dianggap sebagai keturunan langsung dari Rasulullah SAW.
English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google
GS99. Diberdayakan oleh Blogger.
free counters
Ping your blog, website, or RSS feed for Free

backlink