Siapa bilang hanya orang dewasa saja yang bisa terserang stres?
Anak-anak pun bisa. Biasanya orang dewasa terserang stress karena masalah
pekerjaan, keuangan dan lainnya. Bagaimana dengan anak, apa pemicu
stres mereka?
"Faktor penyebab anak menjadi stres adalah perilaku
dari orangtuanya sendiri," ada beberapa perilaku orangtua yang tidak disadari bisa
menimbulkan tekanan pada anak, yang pada akhirnya mengakibatkan stres.
Berikut beberapa penyebabnya:
1. Melarang anak menangis
Semua
orangtua pasti ingin anaknya menjadi anak yang hebat. Namun seringkali
orangtua tidak menyadari bahwa kata-kata motivasi yang diberikan justru
membebani anak, dan mungkin saja membuat mereka menjadi stres. "Beban
dan tekanan ini terutama dialami oleh anak laki-laki dibanding
perempuan, karena di kultur Indonesia laki-laki itu dianggap mahluk yang
paling kuat sehingga tidak boleh menunjukkan kelemahannya sedikit pun,"
ungkapnya.
Pola pikir anak-anak dan dewasa berbeda. Anak,
terutama pada balita, hanya akan menyerap kata-kata yang terdengar, dan
belum bisa memprosesnya dengan sempurna seperti yang dilakukan orang
dewasa. Misalnya, ketika anak terjatuh dari sepeda dan kemudian
menangis. Jika yang terjatuh adalah anak perempuan, orangtua biasanya
akan membiarkannya untuk menangis. Tetapi ketika yang mengalami adalah
anak laki-laki, orangtua pasti akan melarangnya menangis diiringi pesan,
"Kamu tidak boleh menangis", "Kamu kan laki-laki, tidak boleh cengeng",
atau "Kamu kan anak laki-laki yang kuat, luka ini tidak ada
apa-apanya."
Sekilas, tak ada yang salah dengan kalimat tersebut,
karena tujuannya memotivasi anak untuk tidak cengeng. Namun, ketika
diserap oleh otak anak, kalimat ini akan memiliki arti yang berbeda.
Kalimat tersebut akan diterima sebagai sebuah perintah, yang akan selalu
ada di otak mereka sampai dewasa. Masuknya perkataan ini ke otak anak
akan membuat anak selalu menahan tangisnya, dan memendam perasaan
sedihnya. Hal inilah yang membuat anak menjadi stres. "Tidak heran kalau
laki-laki jarang dan malu menangis, karena dari kecil sudah dijejali
dengan perkataan seperti itu. Padahal orang sah-sah saja untuk menangis
dan mengeluarkan perasaan mereka," tambah Rustika. Menangis boleh saja,
yang harus dikontrol adalah frekuensinya.
2. Perilaku orangtua tidak konsisten
Menurut
penelitian, anak-anak usia 1-7 tahun akan lebih mudah menyerap berbagai
hal di sekitarnya melalui bahasa tubuh seseorang (90 persen), intonasi suara
(7 persen), dan kata-kata (3 persen). "Orangtua yang plin-plan akan
membuat anak kebingungan, dan akhirnya stres karena orangtuanya tidak
konsisten," tambahnya. Seharusnya orangtua bersikap tegas dalam mendidik
anak, dan antara suami dan istri bekerjasama agar tercapai kata
sepakat. Misalnya, anak dihukum ketika melakukan sebuah kesalahan. Namun
ketika ia mengulangi kesalahannya, orangtua tidak menghukumnya. Bahasa
tubuh orangtua yang tidak konsisten ketika menghadapi masalah yang
sama, seperti kadang bersikap galak dan kadang baik, akan membuat anak
tertekan.
3. Membeda-bedakan anak
Banyak
orangtua yang secara tak sadar membeda-bedakan anaknya. Meski dalam
perbuatan tidak terlalu terlihat, namun intonasi suara yang turun naik
ketika menghadapi kakak dan adik akan membuat anak merasakan adanya
pembedaan sikap orangtua. "Ketika adik kakak berkelahi, biasanya nada
bicara orangtua akan lebih lembut ke adik dibanding kakak, karena
mengganggap bahwa kakak yang sudah lebih dewasa harus mengalah,"
bebernya. Intonasi suara yang berbeda ketika menghadapi kakak dengan
nada yang keras, dan adik dengan nada yang lembut, akan membuat si kakak
merasa si adik lebih disayang dan ia pun menjadi tertekan.
4. Labeling pada anak
Salah
satu yang paling berbahaya yang dilakukan orangtua kepada anak adalah
memberi label atau cap kepada anak. Kata-kata seperti, "Dasar kamu anak
pemalas", atau "Kamu kegemukan, makanya pakai baju apa saja tidak ada
yang cocok", atau "Kamu kok lemot sih, nggak pinter seperti kakakmu?". Hati-hati, labeling,
apalagi yang diiringi dengan tindakan membanding-bandingkan anak, tak
hanya membuat anak merasa tertekan, tetapi juga mengalami luka batin
yang akan terbawa hingga ia dewasa.
5. Terlalu sering melarang
Ketika
anak berusia 4-6 tahun, anak sedang berada dalam zona kreatif dengan
peningkatan rasa ingin tahu dan ingin belajar yang sangat tinggi. Namun,
sikap kreatif anak dan daya ekplorasinya dianggap sebagai kenakalan
orangtua, lalu berusaha membatasi gerak mereka. "Jangan main di sana",
atau "Jangan dipegang-pegang!", dan masih banyak kata larangan lain yang
digunakan orangtua untuk membatasi kreativitas anak. Meski memiliki
tujuan yang baik agar si anak tidak terluka, namun kata-kata "jangan"
dan "tidak" ternyata bisa membuat anak menjadi stres karena mereka tidak
bebas untuk melakukan apapun.
Gunakan kata-kata lain yang lebih
baik untuk mengarahkan anak, sehingga anak akan menerimanya dengan
positif. Anak akan mengerti bahwa Anda melarangnya melakukan hal
tersebut karena berbahaya, dan bukan karena tidak sayang pada anak.
"Kalau selalu dilarang, suatu saat anak bisa mencuri-cuuri untuk melakukannya saat Anda tidak tahu,".