Satu hari saya bertemu dengan seorang sahabat saya yang bernama
Wardah. Dalam pertemuan itu, dia bertanya kepada saya, “Ain, apa
tandanya isteri solehah”? Saya menjawab, “Wardah, kau tentunya lebih
arif daripadaku untuk menjawabnya…”?
Sebenarnya saya tahu tujuan pertanyaan Wardah bukanlah untuk menanti
jawaban saya, sebaliknya untuk saling memperingatkan diri agar
berhati-hati dan teliti dalam menyempurnakan tanggungjawab yang berat
ini.
Saya ingin menyingkap kembali sejarah Nabi Ibrahim sewaktu baginda
menziarahi menantunya. Pada waktu itu, puteranya, Nabi Ismail tidak di
rumah sedangkan isterinya belum pernah bertemu bapak mertuanya, yaitu
Nabi Ibrahim.
Setelah sampai di rumah anaknya itu,terjadilah dialog antara Nabi Ibrahim dan menantunya.
Nabi Ibrahim : Siapakah kamu?
Menantu : Aku isteri Ismail.
Nabi Ibrahim : Di manakah suamimu, Ismail?
Menantu : Dia pergi berburu.
Nabi Ibrahim : Bagaimanakah keadaan hidupmu sekeluarga?
Menantu : Oh, kami semua dalam kesempitan dan (mengeluh) tidak pernah senang dan santai.
Nabi Ibrahim : Baiklah! Jika suamimu pulang, sampaikan salamku
padanya. Katakan padanya, tukar tiang pintu rumahnya (sebagai kiasan
supaya menceraikan istrinya).
Menantu : Ya, baiklah.
Setelah Nabi Ismail pulang dari berburu,isterinya terus menceritakan tentang orang tua yang telah singgah di rumah mereka.
Nabi Ismail : Apakah ada yang ditanya oleh orang tua itu?
Isteri : Dia bertanya tentang keadaan hidup kita.
Nabi Ismail : Apa jawabanmu?
Isteri : Aku ceritakan kita ini orang yang susah. Hidup kita ini selalu dalam kesempitan, tidak pernah senang.
Nabi Ismail : Adakah dia berpesan apa-apa?
Isteri : Ya ada. Dia berpesan supaya aku menyampaikan salam kepadamu serta meminta kamu menukar tiang pintu rumahmu.
Nabi Ismail : Sebenarnya dia itu ayahku. Dia menyuruh kita berpisah. Sekarang kembalilah kau kepada keluargamu.
Ismail pun menceraikan isterinya yang suka menggerutu, tidak
bertimbang rasa serta tidak bersyukur kepada takdir Allah SWT. Sanggup
pula menceritakan rahasia rumah tangga kepada orang luar.
Tidak lama sesudah itu, Nabi Ismail kawin lagi. Setelah sekian lama,
Nabi Ibrahim datang lagi ke Makkah dengan tujuan menziarahi anak dan
menantunya. Terjadi lagi pertemuan antara mertua dan menantu yang saling
tidak mengenali.
Nabi Ibrahim : Dimana suamimu?
Menantu : Dia tidak dirumah. Dia sedang berburu.
Nabi Ibrahim : Bagaimana keadaan hidupmu sekeluarga? Mudah-mudahan dalam kesenangan?
Menantu : Syukurlah kepada Tuhan, kami semua dalam keadaan sejahtera,tiada kekurangan.
Nabi Ibrahim : Baguslah kalau begitu.
Menantu : Silakan duduk sebentar.Boleh saya hidangkan sedikit makanan.
Nabi Ibrahim : Apa pula yang ingin kamu hidangkan?
Menantu : Ada sedikit daging, tunggulah saya sediakan minuman dahulu.
Nabi Ibrahim : (Berdoa) Ya Allah! Ya Tuhanku!Berkatilah mereka dalam
makan minum mereka. (Berdasarkan peristiwa ini,Rasulullah beranggapan
keadaan mewah negeri Makkah adalah berkat doa Nabi Ibrahim).
Nabi Ibrahim : Baiklah, nanti apabila suamimu pulang,sampai- kan
salamku kepadanya. Suruhlah dia menetapkan tiang pintu rumahnya (sebagai
kiasan untuk melanggengkan isteri Nabi Ismail).
Setelah Nabi Ismail pulang dari berburu, seperti biasa dia bertanya sekiranya siapa yang datang mencarinya.
Nabi Ismail : Ada sesiapa yg datang sewaktu aku tidak di rumah?
Isteri : Ya, ada. Seorang tua yang baik rupanya dan perwatakannya sepertimu.
Nabi Ismail : Apa katanya?
Isteri : Dia bertanya tentang keadaan hidup kita.
Nabi Ismail : Apa jawabanmu?
Isteri : Aku nyatakan kepadanya hidup kita dalam keadaan baik,tidak kekurangan apapun , Aku ajak juga dia makan dan minum.
Nabi Ismail : Adakah dia berpesan apa-apa?
Isteri : Ada, dia berkirim salam buatmu dan menyuruh kamu melanggengkan tiang pintu rumahmu.
Nabi Ismail : Oh, begitu. Sebenarnya dialah ayahku.Tiang pintu yang
dimaksudkannya itu ialah dirimu yang dimintanya untuk aku langgengkan.
Isteri : Alhamdulillah, syukur.
Bagaimana pandangan pembaca tentang petikan sejarah ini? Saya rasa
sejarah ini sungguh menyentuh jiwa. Anda juga tentu merasa dan mengalami
sendiri ujian hidup berumahtangga yang senantiasa memerlukan kesabaran.
Berpandukan sejarah tersebut, saya tegaskan kepada diri sendiri bahwa
isteri solehah itu sepatutnya sabar di hati dan syukur pada wajah?.
Dari sini akan terpancar ketenangan setiap kali suami berhadapan dengan
isteri salehah. Isteri salehah tidak cerewet dan tidak mudah menggerutu.
Isteri salehah hendaklah senantiasa bersyukur dalam keadaan senang
maupun susah supaya Allah tambahkan lagi rahmat-Nya seperti firman-Nya
yang artinya: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku tambahkan
nikmat-Ku kepadamu. Dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka
sesungguhnya azab-Ku amat pedih.” (Surah Ibrahim, ayat 7)
Untuk menambahkan kegigihan kita berusaha menjadi isteri salehah, ingatlah hadis Rasulullah yang artinya: “Sampaikanlah
kepada sesiapa yang engkau temui dari kaum wanita,bahwasanya taat
kepada suami serta mengakui haknya adalah menyamai pahala orang yang
berjihad pada jalan Allah, tetapi sangat sedikit sekali golongan kamu
yang dapat melakukan demikian.” (Riwayat Al-Bazzar dan Ath-Thabrani)
Begitulah, untuk menyiapkan diri sebagai isteri salehah, hati kita
hendaklah senantiasa dipenuhi dengan kasih sayang rabbani. Contoh
teladan yang sepatutnya jadi rujukan kita ialah sejarah kehidupan nabi
serta orang saleh.